KY Menanggapi Laporan HMTI Atas Perkara Lapangan Gembira
Jakarta, hariandialog.co.id. Komisi Yudisial Republik
Indonesia (KY RI) akhirnya menanggapi permintaan elemen masyarakat
adat dan mahasiswa Toraja untuk memeriksa hakim yang memutus perkara
‘lapangan gembira’ baik pada tingkat pertama, banding maupun kasasi.
Berdasar surat Komisi Yudisial tertanggal 8 Oktober 2020
yang diterima oleh Ignas Tandi Rano (Ketua Himpunan Mahasiswa Toraya
Indonesia/ HMTI) pada Selasa 20 Oktober, HMTI diminta melengkapi
laporannya. Ini dimaksud untuk memenuhi syarat administrasi registrasi
penanganan lebih lanjut. “Kami diberi waktu 30 hari sejak menerima
surat untuk melengkapi laporan baik yang menyangkut legal standing
maupu bukti-bukti,” kata Ignas.
Surat bernomor 199/PH/LM.2/10/2020 tersebut ditandatangani oleh Plt.
Kepala Biro Pengawasan Perilaku Hakim Komisi Yudisial Arie Sudihar dan
ditembuskan kepada Ketua KY dan Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan
Investigasi KY. “Respon Komisi Yudisial ini adalah momen bagi seluruh
elemen masyarakat Toraja terutama HMTI untuk bersatu memperjuangkan
lapangan Gembira atau Rante Menduruk. Kami minta Pemda Torut juga
bersinergi dengan mahasiswa untuk merespon hal ini,” kata Ignas.
Masyarakat Toraja dari berbagai latarbelakang, seperti mahasiswa,
pelajar, adat, dan praktisi pendidikan, menggelar aksi demonstrasi di
depan kantor Mahkamah Agung RI di Jakarta, Selasa (28-07-2020) siang.
Dalam aksinya, masyarakat Toraja memprotes dugaan “peradilan
sesat” dalam perkara lahan Lapangan Gembira atau Rante Menduruk di
Rantepao,Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
Perkara itu kini memasuki tahap Pengujian Kembali (PK) di
Mahkamah Agung. Sebelumnya, pengadilan tingkat pertama (Pengadilan
Negeri), tingkat kedua (Pengadilan Tinggi), maupun kasasi (MA)
memenangkan penggugat. “Ada banyak fakta-fakta yang diabaikan oleh
para hakim sejak pengadilan tingkat pertama hingga kasasi,” kata
Koordinator Himpunan Mahasiswa Toraja Indonesia, Ignasius Tandi Rano.
Ignas membeberkan setidaknya tujuh kejanggalan terkait keputusan hakim
terkait perkara itu. Pertama, legal standing penggugat. Salah satu
penggugat, Sdr Irfan Ahli, bukanlah ahli waris yang berhak mengajukan
gugatan.
Kedua, tergugat Bupati Toraja Utara bukanlah pihak yang memiliki objek gugatan.
Ketiga, bukti kepemilikan yang dipakai ahli waris adalah foto-copy dan
penggugat tidak pernah bisa menghadirkan surat/dokumen asli
kepemilikan tersebut.
Keempat, ahli waris tidak bisa memperlihatkan obyek tanah sesuai
dokumen yang mereka miliki. Termasuk pada saat sidang di lapangan.
Kelima, harga tanah yang tertera dalam dokumen foto-copy menyebut f
200 (dua ratus rupiah ). “Ini jelas palsu karena Indonesia mengenal
rupiah mulai tahun 1946,” katanya.
Keenam, kawasan tanah sengketa yang oleh penggugat disebut “tanah
lapang gembira” atau Rante Menduruk sejatinya adalah tanah yang
awalnya adalah milik masyarakat adat yang diambil alih oleh pemerintah
kolonial Belanda.
Saat itu, Belanda memfungsikannya sebagai lapangan pacuan kuda. Namun,
setelah kekuasan kolonial berakhir, tanah lapangan gembira dan
sekitarnya kembali kepada masyarakat adat Ba’lele.
Dalam perkembangan selanjutnya, tanah adat itu diserahkan
kepada Pemerintah Kabupaten Tana Toraja untuk kepentingan penyediaan
lokasi pembangunan sekolah dan lainnya. “Fakta-fakta ini sepertinya
sengaja diabaikan sebagai pertimbangan dalam mengadili perkara
tersebut sehingga penggugat menang dalam tiga tingkat peradilan. Kami
meminta Komisi Yudisial memeriksa hakim-hakim yang mengadilinya,”
tegas Ignas.
Melihat situasi peradilan yang tak berpihak itu, Pemkab
Toraja Utara melakukan upaya hukum terakhir, yaitu Peninjauan Kembali.
Masyarakat Toraja juga mendatangi Kantor Mahkamah Agung dan kantor
Komisi Yudisial.
Di kantor Komisi Yudisial, massa aksi sempat menggelar acara
Ma’badong, sebagai simbolisasi atas rasa berduka masyarakat adat
Toraja terhadap putusan pengadilan yang tidak adil.
Dalam aksi tersebut, masyarakat Toraja mendesak Komisi
Yudisial untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik para hakim yang
mengadili perkara tersebut. Permintaan itu disampaikan secara tertulis
dan diterima oleh perwakilan Komisi Yudisial. Selain aksi yang digelar
di Jakarta, aksi serupa juga digelar oleh masyarakat adat Toraja di
kota Rantepao, Toraja Utara.(kongkrit/ PBT/adlusun)