Hukum dan Kriminal

Jaksa KPK Dakwa Nurhadi Mantan SekMA Terima Suap Rp.83 Miliar

Jakarta, hariandialog.co.id.–   Jaksa Penuntut Umum Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa eks Sekretaris Mahkamah Agung
(MA) Nurhadi Abdurrachman bersama menantunya Rezky Herbiyono menerima
suap dan gratifikasi senilai total Rp83 miliar terkait dengan
pengaturan sejumlah perkara di lingkungan peradilan.

         Khusus untuk suap, Nurhadi dan Rezky disebut menerima uang
sebesar Rp45.726.955.000,00 (Rp45,7 miliar) dari Direktur Utama PT
Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. “Padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya,” ujar Jaksa Wawan Yunarwanto saat membacakan surat dakwaan
di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (22-10-2020).

       Perkara suap pertama, Jaksa menyebut itu terkait pengurusan
kasus antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Itu
terkait dengan gugatan perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT
KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi.

           Awal mula gugatan, pada 27 Agustus 2010 Hiendra melalui
kuasa hukumnya Mahdi Yasin dan rekan mengajukan gugatan perbuatan
melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang didasarkan pada
pemutusan secara sepihak atas perjanjian sewa-menyewa depo container
milik PT KBN. Hal itu sebagaimana register perkara nomor:
314/Pdt.G/2010/PN Jkt.Ut.

        PN Jakarta Utara mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan
bahwa perjanjian sewa-menyewa depo container tetap sah dan mengikat.
Serta menghukum PT KBN membayar ganti rugi materiel kepada PT MIT
sebesar Rp81.778.334.544,00. Tak terima, PT KBN mengajukan banding.
Namun lagi-lagi upaya hukum mereka kandas di Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta.

Di tingkat kasasi, MA dalam putusannya nomor 2570 K/Pdt/2012
menyatakan bahwa pemutusan perjanjian sewa-menyewa depo container
adalah sah dan menghukum PT MIT membayar ganti rugi sebesar
Rp6.805.741.317,00 secara tunai dan seketika kepada PT KBN. “Setelah
putusan MA tersebut diberitahukan kepada para pihak, pada 25 April
2014, PT KBN melalui kuasanya bermohon kepada Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Utara agar dilakukan eksekusi atas putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap dengan aanmaning/teguran,” ujar Jaksa.

           Mengetahui akan dieksekusi, Hiendra meminta bantuan Hengky
Soenjoto untuk dikenalkan dengan advokat Rahmat Santoso yang merupakan
adik ipar Nurhadi atau paman Rezky. Dalam pertemuan di cafe Vin+ Jalan
Kemang Raya, Jakarta Selatan, Hiendra meminta Rahmat menjadi kuasanya
dalam permohonan Peninjauan Kembali (PK) perkara gugatan dengan PT KBN
sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.

          20 Agustus 2014 urai jaksa, Hiendra memberi surat kuasa
kepada Rahmat sekaligus memberi uang Rp300 juta dan cek OCBC NISP atas
nama PT MIT nomor NNP 218650 sejumlah Rp5 miliar yang bisa dicairkan
setelah permohonan PK didaftarkan ke MA. Pada 25 Agustus 2014, Rahmat
mendaftarkan permohonan PK dan permohonan penangguhan eksekusi.

Beberapa hari kemudian, tutur Jaksa, Hiendra mencabut kuasa yang telah
diberikan dan melarang Rahmat mencairkan cek Rp5 miliar. “Namun pada
kenyataannya Hiendra meminta Terdakwa II (Rezky) yang merupakan
menantu sekaligus orang kepercayaan Terdakwa I (Nurhadi) untuk
pengurusan perkara tersebut, padahal diketahui pada saat itu, Terdakwa
II bukanlah advokat,” ucap Jaksa.

Hiendra pun pada 22 September 2014 mengajukan gugatan kedua kepada PT
KBN di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan maksud agar penundaan
eksekusi dapat dilakukan.

Pada 9 Oktober 2014, Ketua PN Jakarta Utara mengeluarkan penetapan
nomor 16/Eks/2014/PN.Jkt.Ut jo. No.314/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Ut yang pada
pokoknya memerintahkan Panitera PN Jakarta Utara untuk melakukan sita
eksekusi terhadap areal lahan depo container seluas 57.330 meter
persegi dan 26.800 meter persegi.

Jaksa mengatakan, berdasarkan surat permohonan penangguhan/penundaan
yang diajukan PT MIT melalui Rahmat Santoso, Nurhadi dan Rezky
mengupayakan penundaan eksekusi. Sehingga, pada 26 November 2014,
Ketua PN Jakarta Utara mengeluarkan penetapan yang pada pokoknya
menangguhkan untuk sementara isi putusan MA sampai ada putusan PK.

Sebagai realisasi, pada awal tahun 2015, Rezky melalui Calvin Pratama
membuat perjanjian dengan Hiendra di mana Hiendra akan memberikan fee
pengurusan administrasi sebesar Rp15 miliar dengan jaminan cek Bank
QNB Kesawan atas nama PT MIT sebesar Rp30 miliar. “Namun pada
kenyataannya Hiendra Soenjoto tidak mempunyai dana untuk pengurusan
perkara dimaksud,” kata Jaksa.

Pinjaman Dana

Atas dasar itu, Rezky memperkenalkan Hiendra dengan Iwan Cendekia
Liman yang bisa membantunya mendapatkan pendanaan dari Bank Bukopin
Surabaya. Dana itu nantinya dapat digunakan untuk membiayai perkara PT
MIT.

       Guna merealisasikan kesepakatan pengurusan perkara tersebut,
Jaksa berujar bahwa Rezky menerima uang Rp400 juta dari Hiendra
sebagai pembayaran uang di muka.

Kemudian sekitar bulan Juni 2015, Rezky meminjam uang kepada Iwan
sebesar Rp10 miliar yang akan digunakan untuk mengurus perkara
dikarenakan Hiendra belum membayarkan fee pengurusan perkara. “Pada
saat itu Terdakwa II (Rezky) menyampaikan kepada Iwan Cendekia Liman
bahwa perkara tersebut sedang diurus oleh Terdakwa I (Nurhadi),” tutur
Jaksa.

Selain itu, Rezky juga menyampaikan bahwa uang tersebut akan
dikembalikan kepada Iwan dari dana yang bersumber dari pembayaran
ganti rugi PT KBN kepada PT MIT senilai Rp81.778.334.544 (Rp81,7
miliar).

Rencana itu sedikit menemui hambatan. Pada 4 Juni 2015 PN Jakarta
Utara menolak gugatan PT MIT sehingga mereka mengajukan banding. Pun
begitu di tingkat kasasi di mana MA menolak PK yang diajukan.

Meskipun gugatan kedua di PN Jakarta Utara dan PK ditolak, Nurhadi
melalui Rezky tetap menjanjikan kepada Hiendra untuk terus
mengupayakan pengurusan perkara lahan depo container.

19 Juni 2015, Iwan mentransfer uang Rp10 miliar yang dipinjam Rezky
untuk mengurus perkara. Setelah itu, Rezky menyerahkan 8 lembar cek
Bank QNB Kesawan atas nama PT MIT senilai Rp30 miliar dan 3 lembar cek
Bank Bukopin atas nama dirinya kepada Iwan sebagai jaminan.

“Pada tanggal 20 Juni 2015 bertempat di rumah para terdakwa di Jalan
Hang Lekir V nomor 6, RT 7 RW 6, Kelurahan Gunung, Kecamatan Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan, Terdakwa II (Rezky) menyampaikan kepada Iwan
bahwa perkara PT MIT sudah ditangani Terdakwa II (Nurhadi) dan
dipastikan aman,” ucap Jaksa.

Perkara kedua yang didakwa diatur oleh Nurhadi dan Rezky adalah
gugatan perbuatan melawan hukum yang dilayangkan Azhar Umar terhadap
Hiendra Soenjoto di PN Jakarta Pusat.

Di antaranya terkait akta nomor 116 tertanggal 25 Juni 2014 tentang
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT MIT dan gugatan
terkait akta nomor 31 tertanggal 4 Juni 2014 tentang perubahan
Komisaris PT MIT.

             PN Jakarta Pusat menolak gugatan Azhar. Ketika yang
bersangkutan mengajukan banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru
menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. “Dikarenakan perkara
berlanjut pada tingkat kasasi, selanjutnya Hiendra meminta Hengky
untuk menanyakan dan mendesak kembali Terdakwa I dan Terdakwa II agar
Hiendra dimenangkan,” tandas Jaksa.

Atas perbuatan ini, Nurhadi dan Rezky didakwa melanggar Pasal 12 huruf
a atau Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Gratifikasi

Selain suap, Nurhadi dan Rezky didakwa menerima gratifikasi sebesar
Rp37.287.000.000 (Rp37 miliar). Nurhadi disebut memerintahkan Rezky
untuk menerima uang dari para pihak yang memiliki perkara baik di
tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali secara
bertahap sejak 2014-2017.

Mereka antara lain Handoko Sutjitro (Rp2,4 miliar); Renny Susetyo
Wardani (Rp2,7 miliar); Donny Gunawan (Rp7 miliar); Freddy Setiawan
(Rp23,5 miliar); dan Riadi Waluyo (Rp1.687.000.000). “Terhadap
penerimaan gratifikasi berupa uang sejumlah tersebut di atas, Terdakwa
tidak melaporkannya kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari
sebagaimana ditentukan Undang-undang,” terang Jaksa.

        Terhadap perbuatan ini, Nurhadi dan Rezky didakwa melanggar
Pasal 12 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. (cnni/tob)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

kirim pesan
Trimakasih Telah Mengunjungi Website Kami