Tak Berkategori

Kerumunan Pengagum MRS, Paradoks Kepemimpinan Jokowi dalam Penanganan Covid-19

Jakarta, hariandialog.co.id – Pembiaran negara atas kerumunan massa yang mengiringi rangkaian kedatangan Muhammad Rizieq Shihab (MRS) dari Arab Saudi, kegiatan-kegiatan safari dakwah, dan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus pernikahan putri MRS, menjadi paradoks kepemimpinan politik Presiden Joko Widodo dan jajarannya dalam penanganan pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19.

“Jangankan kewajiban menjalankan protokol kesehatan, prinsip hukum ‘salus populi suprema lex esto’ yang selama ini digaungkan oleh para pejabat negara dan aparat keamanan, sama sekali tidak berlaku bagi kerumunan yang diciptakan oleh kedatangan MRS. Asas yang berarti keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi selama ini telah digunakan oleh pemerintah untuk melakukan pembatasan-pembatasan sosial, termasuk bahkan digunakan untuk melakukan pembubaran kegiatan-kegiatan yang mengkritisi kinerja pemerintah,” kata Ketua Setara Institute Hendardi di Jakarta, Senin (16/11/2020).

Para pihak berwenang,kata Hendardi, sejauh ini hanya menyampaikan imbauan agar kerumunan itu menerapkan protokol kesehatan, sama seperti Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Nikita Mirzani yang secara satir mengkritik keras kerumunan dalam beberapa hari belakangan ini.

‘Padahal, tugas pemerintah adalah mengambil tindakan hukum. Sungguh peragaan tata kelola pemerintahan yang melukai para dokter dan perawat yang terus berjuang, siswa-siswi sekolah yang sudah jenuh dengan belajar daring, dan para korban PHK yang tidak bisa menggapai impiannya untuk terus bekerja, akibat ganasnya Covid-19,” jelasnya.

Menurut Hendardi, pilihan politik akomodasi Jokowi terutama sejak merangkul Prabowo Subianto, membiarkan eks-Tim Mawar menduduki jabatan, obral Bintang Mahaputera ke sejumlah elite oposisi, adalah ijtihad politik keliru. “Orientasi politik akomodasi adalah terciptanya stabilitas politik dan keamanan. Tetapi akomodasi pragmatis tanpa basis ideologi dan gagasan justru telah menyandera Jokowi dalam kalkulasi-kalkulasi politik pragmatis. Pembiaran atas kerumunan yang diciptakan oleh massa pengagum MRS adalah bukti kegagapan Jokowi dalam kalkulasi politik yang menjebaknya,” terangnya.

Jika Jokowi tidak terjebak dalam politik akomodasi, lanjut Hendardi, seharusnya sebagai seorang Presiden, Jokowi segera memerintahkan Kapolri Jenderal Idham Azis untuk menindak kerumunan, mempertegas dan menindaklanjuti kasus-kasus hukum yang melilit MRS, memerintahkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk mendisiplinkan kepala daerah yang pasif membiarkan kerumunan, dan seharusnya pula tidak membiarkan Bandara Soekarno Hatta lumpuh dan menyengsarakan ribuan warga,” paparnya.

Sandera politik akomodasi dan kalkulasi politik pragmatis, tegas Hendardi, akan terus melilit Jokowi dan menjadi warna kebijakan-kebijakan politik pemerintahan hingga 2024, jika Jokowi tidak mengambil terobosan politik yang berpusat pada gagasan pengutamaan keselamatan, keadilan dan kesejahteraan rakyat. “Bisa jadi stabilitas politik dan keamanan akan terjaga, akan tetapi kepemimpinannya telah melahirkan preseden buruk sekaligus merusak demokrasi dan supremasi hukum, alih-alih mewariskan ‘legacy’,” tandasnya. (yud)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

kirim pesan
Trimakasih Telah Mengunjungi Website Kami