Jokowi dan Tantangan Kepemimpinan Toleransi
Jakarta, hariandialog.co.id – Senin (16/11/2020), sejak 24 tahun lalu, dunia memperingati Hari Toleransi Internasional, mengikuti ketetapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagaimana maksud awal ditetapkannya Hari Toleransi, hari itu merupakan momentum yang tepat untuk merefleksikan situasi toleransi yang ditandai dengan penerimaan, pengakuan, dan inklusi atas seluruh identitas agar dapat hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence) dalam perbedaan.
Sehari sebelum Hari Toleransi Internasional, Presiden Joko Widodo menyampaikan pentingnya toleransi pada hari terakhir Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-37 ASEAN, 15 November 2020. Melalui Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, Presiden menyampaikan keprihatinan masih terus terjadinya intoleransi beragama dan kekerasan atas nama agama.
Terkait hal tersebut, Setara Institute menyampaikan beberapa hal. “Pertama, keprihatian yang dinyatakan oleh Presiden merupakan kondisi faktual, khususnya dalam konteks Indonesia. Intoleransi beragama dan kekerasan atas nama agama yang disampaikan oleh Presiden merupakan masalah serius yang dihadapi, khusus oleh bangsa dan pemerintah Indonesia sendiri,” ungkap Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos di Jakarta, Senin (16/11/2020).
Sebagai kepala negara dan pemerintahan, Presiden Jokowi menurut Choky, panggilan akrabnya, memiliki segala kewenangan politik dan hukum yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan terukur dalam kerangka demokrasi untuk mengatasi persoalan akut intoleransi di Indonesia.
Kedua, kata Choky, pihaknya ingin kembali mengingatkan bahwa keberhasilan Jokowi menjadi Presiden RI pada 2014 sempat memunculkan harapan baru, setelah selama satu dekade di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan mengalami stagnasi. “Namun, merujuk pada situasi objektif terkini, harapan publik terhadap pemerintahan Jokowi memudar. Periode pertama kepresidenan Jokowi tidak menghasilkan terobosan signifikan dalam pemajuan toleransi dan kebebasan beragama/berkeyakinan. Alih-alih membangkitkan harapan publik, tahun pertama periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi justru menunjukkan lemahnya kepemimpinan nasional dalam jaminan hak untuk beragama/berkeyakinan secara merdeka sesuai konstitusi,” terangnya.
Ketiga, lanjut Choky, mengacu pada data kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan yang dihimpun dan dirilis lembaganya setiap tahun sejak 2007, terdapat persoalan struktural yang mesti diatasi oleh pemerintah, dan secara langsung berada dalam kewenangan dan kendali Presiden sebagai kepala negara, yaitu persoalan kebijakan, persoalan kapasitas aparatur pemerintah, dan persoalan penegakan hukum.
“Keempat, dalam pandangan kami, politik akomodasi yang menguat dalam pemerintahan kedua Jokowi turut berkontribusi melemahkan kepemimpinannya dalam pemajuan toleransi, kebebasan beragama/berkeyakinan, dan hak asasi manusia pada umumnya. “Di tengah kepemimpinan nasional yang lemah, basis sosial toleransi ikut memburuk, yang ditandai dengan rendahnya kesalingpahaman (mutual understanding) antar-identitas di tengah-tengah masyarakat yang dipicu pembiaran ekspresi kebencian atas nama agama oleh figur-figur publik dan politisasi agama oleh para politisi,meningkatnya segregasi sosial antar-identitas yang memicu ketegangan (tension) ketidaktertiban sosial (social disorder) hingga kekerasan terhadap identitas yang berbeda (the other) terutama minoritas yang rentan, maraknya ekspresi terbuka intoleransi, pelanggaran hak, dan kekerasan atas nama agama,” paparnya.
Kelima, ucap Choky, lemahnya kepemimpinan nasional di bidang pemajuan toleransi dan kebebasan beragama/berkeyakinan dipertegas dengan buruknya kinerja kementerian yang secara langsung terkait dengan isu ini, khususnya Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama. “Kedua kementerian ini sejauh ini belum menunjukkan terobosan apa pun, selain kehebohan wacana tidak lama setelah pelantikan kabinet,” cetusnya.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dinilai Choky tidak menunjukkan kinerja yang dibutuhkan untuk mengatasi praktik dan ekspresi intoleransi dan diskriminasi berbasis agama yang terjadi di tingkat daerah. “Kebijakan diskriminatif yang selama ini dipersoalkan oleh Komnas Perempuan, Setara Institute, serta pegiat kebinekaan dan pegiat HAM lainnya, dibiarkan. Ekspresi diskriminasi, intoleransi, pengistimewaan kelompok mayoritas, dan pembatasan hak kelompok minoritas yang terjadi di banyak daerah cenderung dibiarkan,” tukasnya.
Choky mengingatkan Mendagri, data kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan menunjukkan bahwa pemerintah daerah merupakan salah satu pelanggar hak kebebasan beragama/berkeyakinan pada kategori negara dengan jumlah pelanggararan yang tinggi, baik dalam bentuk tindakan langsung (violation by commission), pembiaran (violation by omission), maupun peraturan (violation by rule).
“Mestinya Mendagri menjadikan tata kelola pemerintahan daerah yang inklusif sebagai fokus kementeriannya untuk menjamin pengakuan hak bagi seluruh warga negara,” pintanya.
Kinerja Menteri Agama Rachrul Razi, masih kata Choky, sejauh ini juga tidak menunjukkan terobosan yang dibutuhkan, mulai dari penataan institusional untuk memastikan jaminan seluruh agama, termasuk agama lokal atau penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang sudah mendapatkan rekognisi negara melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), hingga kebijakan penanganan konservatisme keagamaan dan pelintiran kebencian (hate spin) dalam ruang-ruang penyiaran dan pengajaran keagamaan,baik formal maupun informal.
“Keenam, di tengah lemahnya basis struktural yang ada, kami mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk bekerja keras, bahu-membahu, berkolaborasi, dan bergotong-royong memperkuat literasi keagamaan masyarakat, memperbanyak ruang-ruang perjumpaan lintas agama, menghadirkan narasi-narasi keagamaan yang sejuk dan moderat, serta melakukan program konkret untuk membangun ketahanan sosial lintas identitas,” tandasnya. (yud)