Serba Serbi

LBH Jakarta Mencatat Kejanggalan Pemberian Penghargaan BM Buat 6 Hakim MK

Jakarta, hariandialog.co.id.– Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta mencatat sejumlah hal yang dinilai janggal dalam pemberian
penghargaan Bintang Mahaputera terhadap enam hakim Mahkamah Konstitusi
oleh Presiden Joko Widodo.

          Direktur LBH Jakarta Arief Maulana mengungkap kejanggalan
pertama yakni untuk pertama kalinya pemberian tanda jasa terhadap
hakim dilakukan saat hakim masih menjabat. “Dalam catatan saya ada 11
kali hakim konstitusi mendapatkan tanda jasa. Tetapi, semuanya
diberikan setelah mereka purna tugas, setelah masa jabatan berakhir,”
kata Arif dalam webinar Universitas Tarumanagara, Minggu (15-11-2020).

          Terdapat enam hakim MK yang menerima penghargaan gelar
Bintang Mahaputera. Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Aswanto menerima
Bintang Mahaputera Adiprana. Sedangkan tiga hakim lainnya menerima
Bintang Mahaputera Utama yakni, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan
Manahan MP Sitompul.

       Hal lain adalah pemberian tanda jasa diberikan pada enam hakim
dari sembilan hakim konstitusi. Menurut Arief, jumlah penerima itu
berisiko mempengaruhi keputusan mayoritas dalam sidang MK. “Yang
menarik langsung enam dari sembilan. Ini merupakan rekor. Bisa
berpengaruh membuat dissenting opinion, sehingga posisi perkara bisa
menjadi lain,” ujar Arif.

          Arief pun menyatakan pemberian Bintang Mahaputera kepada
enam hakim MK itu beraroma politis. Pasalnya, Presiden Jokowi sebagai
pemerintah merupakan pihak yang berperkara dalam banyak sidang di MK
seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, dan UU Minerba. “Saya kira pemberian
tindakan gelar tanda jasa yang tidak melihat situasi kondisi hari ini
menunjukkan kecenderungan intervensi itu betul-betul terang,” kata
Arief.

          Pemberian tanda jasa ini dinilai dapat berpengaruh terhadap
sejumlah Undang-Undang yang sedang disidangkan. Disebutkan Arif bahwa
mayoritas UU tersebut merupakan UU yang kontroversial dan tidak
berpihak pada rakyat. “Hari ini MK sedang mengadili beberapa peraturan
yang kontroversial oleh pemerintah dan DPR sampai hari ini belum
diputuskan, misalnya UU KPK yang sudah setahun disidangkan sampai hari
ini belum diputuskan,” tutur Arif.

          Ia menambahkan pemberian tanda jasa Bintang Mahaputera ini
bakal menguntungkan penerima dan juga keluarga penerima bahkan hingga
penerima meninggal dunia.

Penerima Bintang Mahaputera berhak atas kenaikan pangkat, dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan dan dibiayai oleh negara, serta ahli waris
mendapatkan santunan. Sumber dana pembiayaan ini berasal dari APBN.

           Dari segi etika, pemberian dan penerimaan penghargaan
tersebut melanggar etika bernegara. Hakim MK diminta mengembalikan
penghargaan tersebut untuk membuktikan independensinya. “Apalagi di
tanggal tersebut ada sidang UU Minerba yang sangat sensitif dan
substansinya penuh kepentingan oligarkis, sehingga sidangnya ditunda.
Artinya MK tidak memenuhi kebutuhan hukum bermasyarakat,” kata dosen
hukum tata negara Untar Ahmad Redi.

Revisi UU MK

         Selain penghargaan Bintang Mahaputera, independensi hakim MK
juga dipertanyakan terkait revisi UU MK. Revisi UU MK memuat sejumlah
aturan yang dinilai menguntungkan hakim MK dan tidak membuat aturan
yang penting.

          Misalnya, terkait penambahan masa jabatan hakim hingga usia
70 tahun. “Kita bisa melihat siapa yang paling diuntungkan, ya hakim
MK itu sendiri,” kata Ahmad.

          Sementara itu, substansi kelembagaan MK, larangan putusan MK
ultra petitum, larangan menggunakan UU lain sebagai dasar pertimbangan
petitum, dan hukum acara tidak dimuat. “Substansi RUU yang sudah ada
putusan MK-nya justru tidak masuk,” ucap Redi.

         Pemerintah sendiri telah merespons kritik atas pemberian
Bintang Mahaputera kepada enam hakim MK.Kepala Kantor Staf Presiden
(KSP)Moeldoko menyebut pemberian penghargaan itu sesuai dengan Pasal
15 Undang-undang 1945 dan UU Darurat nomor 5 tahun 1959 yang mengatur
tentang penghargaan bagi mereka yang memiliki jasa atas keutuhan,
kelangsungan, dan kejayaan NKRI. “Pertanyaannya, apakah pemberian
tanda kehormatan kepada para hakim MK itu tidak mengurangi
independensi? Tidak, karena di sini posisi presiden selaku kepala
negara dan kita me-reference beliau-beliau yang pernah mendapatkan
Mahaputera,” kata Moeldoko melalui rekaman suara yang diterima, Kamis
(12/11).

         “Bahwa bintang jasa RI itu diadakan dengan tujuan untuk
memberikan penghormatan istimewa kepada mereka yang berjasa sangat
luar biasa. Itu harus dipegang teguh dulu,” imbuh dia. (cnni/bing)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

kirim pesan
Trimakasih Telah Mengunjungi Website Kami