Teror di Sigi, Pemerintah Jangan Lengah
Jakarta, hariandialog.co.id – Aksi teror dan ekstremisme-kekerasan kembali terjadi di Sulawesi Tengah, tepatnya di Dusun Lewonu, Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Dari penelusuran beberapa sumber dan informan Setara Institute di Sulteng, empat warga dalam satu keluarga dibunuh secara sadis. Selain itu, satu rumah ibadah Bala Keselamatan dan enam rumah dibakar. Untuk mengantisipasi terjadinya serangan lanjutan, ratusan warga diungsikan ke tempat yang lebih aman di Kabupaten Sigi.
Terkait tragedi tersebut, Setara Institute menyampaikan beberapa pernyataan.
Pertama, mengutuk tindakan biadab oleh kelompok bersenjata tersebut dan turut berduka cita atas meninggalnya warga sipil yang menjadi korban serangan komplotan teroris di Sulteng.
“Kedua, tindakan kekerasan bersenjata secara sadis tersebut diduga dilakukan oleh Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Poso, sisa-sisa kelompok Santoso yang belum berhasil diringkus oleh Satuan Tugas Operasi Tinombala,” kata Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos di Jakarta, Senin (30/11).
Untuk diketahui, jarak antara Poso pesisir utara, di mana MIT sebelumnya berbasis dan melakukan aktivitas, dengan Lemban Tongoa hanya sekitar 23-25 kilometer. Kabupaten Sigi sendiri secara geografis berada di antara Kabupaten Poso dan Kabupaten Parigi Moutong yang selama ini dianggap sebagai teritori MIT Poso.
Ketiga, Choky, panggilan akrab Bonar Tigor, mendesak agar Satgas Operasi Tinombala yang masa tugasnya sudah diperpanjang sampai 31 Desember 2020 mengoptimalkan sisa masa tugas untuk perburuan belasan anggota MIT Poso yang masih berkeliaran di hutan dan pegunungan sekitar Poso. “Komplotan teroris Poso tersebut tidak boleh diremehkan, apalagi dianggap lemah. Pasca-tewasnya Santoso dan tertangkapnya Basri pada 2016, Ali Kalora telah mengambil alih kepemimpinan MIT Poso dan hingga kini tak tersentuh aparat,” sesalnya.
Satgas dan seluruh aparat keamanan, kata Choky, harus menjamin keamanan dan keselamatan seluruh warga negara, termasuk di pedalaman dan pegunungan Sulawesi Tengah, dari serangan kelompok mana pun yang mengancam keamanan dan keselamatan (human security) mereka.
“Keempat, kami mendesak pemerintah, khususnya aparat keamanan, untuk tidak lengah dalam mengantisipasi konsolidasi dan bangkitnya sel-sel tidur terorisme dan ekstremisme-kekerasan. Peningkatan kekecewaan publik belakangan ini atas kinerja pemerintahan di berbagai bidang, dalam seluruh cabang kekuasaan, dapat dimanfaatkan oleh sel-sel tidur dan jaringan terorisme dan ekstremisme kekerasan untuk mendapatkan momentum dan melakukan konsolidasi,” urainya. Kelima, lanjut Choky, terorisme dan ekstremisme-kekerasan tidak mengenal agama. Oleh karena itu, dia mendorong tokoh lintas agama untuk bersama-sama mengutuk kekerasan yang digunakan oleh kelompok tertentu atas nama agama. “Selain itu, mereka hendaknya bersama-sama membangun kehidupan keagamaan yang teduh. Kami mendorong mereka untuk mengaktualisasikan spirit Rencana Aksi Rabat Maroko 2012 dan Deklarasi Beirut Lebanon 2017, bahwa kebencian yang menghasut terjadinya diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan, adalah ‘musuh’ bersama lintas agama,” terangnya.
Terakhir, Choky mengimbau agar kasus terorisme dan ekstremisme-kekerasan seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah tidak dimanfaatkan sebagai isu sosial-politik apa pun oleh kelompok mana pun untuk memantik segregasi sosial-politik atau sosial-keagamaan di tengah-tengah masyarakat. (yud)