Tiga Menguak Jokowi
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Siapa sesungguhnya yang paling terpukul atas tertangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
Prabowo Subianto? Mungkin. Tapi tidak. Sebab, sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo hanya merekomendasikan nama Edhy. Perkara diangkat menteri atau tidak, itu bukan urusan dia.
Pengurus Partai Gerindra? Mungkin. Tapi tidak. Sebab, kader parpol korupsi itu bagi mereka sudah lumrah. Itu urusan pribadi, tak terkait partai. Untuk membersihkan nama partai, kader bermasalah itu langsung dipecat. Syukur-syukur sebelum dipecat, dia mengundurkan diri. Padahal, setoran buat partai sudah mereka terima.
Edhy Prabowo sendiri? Mungkin. Tapi tidak. Sebab, kasus suap yang menimpa dirinya ia anggap sebagai kecelakaan belaka. Tak seorang pun yang menginginkan kecelakaan itu terjadi. Ketika kecelakaan itu harus terjadi, tak seorang pun yang malu menanggungnya. Namanya juga “accident”?
Lalu siapa? Presiden Joko Widodo? Mungkin! Betapa tidak?
Selaku Presiden, Jokowi-lah yang paling menentukan seseorang diangkat menteri atau tidak. Dialah yang menandatangani surat keputusan pengangkatan menteri. Tanpa tanda tangannya, tak mungkin seseorang menjadi menteri.
Namun, terkait penangkapan Edhy, Jokowi menyatakan menghormati proses hukum yang dilakukan KPK. Jokowi yakin KPK transparan dan profesional. Jokowi konsisten mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Tak ada pembelaan. Tak ada perlindungan bagi Edhy. Artinya, Jokowi pun tak terlalu merasa terpukul. Sebab, korupsi adalah “common enemy” (musuh bersama).
Di sisi lain, Susi Pudjiastuti sosok berani. Susi sosok bersih. Susi sosok berprestasi. Mengapa dia tidak diangkat lagi?
Penggantinya justru sosok yang kemudian disangka korupsi. Penggantinya justru sosok yang mengobrak-abrik kebijakan Susi. Penenggelaman kapal ditiadakan. Ekspor benih lobster dilegalkan. Akhirnya terbukti kebijakan ekspor benur tersebut menjadi ajang korupsi.
Logika Politik
Politik memiliki logikanya sendiri, dan Jokowi sepertinya menganut logika politik itu. Logika akal sehat pun dinafikan.
Logika politik: Susi tak punya parpol. Jokowi membutuhkan dukungan parpol. Satu lawan terlalu banyak, seribu kawan terlalu sedikit. Apalagi untuk mengakomodasi masuknya kawan baru: Partai Gerindra. Susi tersingkir!
Logika akal sehat: Jokowi, meskipun bukan pengurus parpol, tapi terpilih sebagai presiden. Itu karena Jokowi dianggap bersih. Itu karena Jokowi dianggap berani. Semestinyalah dalam penyusunan kabinet ia memilih sosok yang bersih dan berani. Terlepas dari mereka punya parpol atau tidak.
Edhy Prabowo adalah menteri ketiga Jokowi yang ditangkap KPK. Sebelumnya ada Menteri Sosial Idrus Marham, dan Menteri Pemuda dan Olah Raga Imam Nahrawi.
Ketiganya dari parpol. Edhy Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Idrus Sekretaris Jenderal Partai Golkar. Imam Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Seperti antologi puisi “Tiga Menguak Takdir” (1950) karya Chairil Anwar, Rivai Apin dan Asrul Sani (sastrawan Angkatan 1945) berhasil menguak “misteri” Sutan Takdir Alisjahbana (sastrawan pelopor Angkatan Poedjangga Baroe/1933), melalui ketiga menteri yang dicokok KPK itu kita coba menguak “misteri” yang melingkupi Presiden Jokowi.
Jokowi mengangkat menteri dari parpol? Tidak salah. Asalkan mereka memiliki keahlian manajerial yang dibutuhkan. Menteri pada hakikatnya adalah seorang manajer, seorang profesional.
Yang salah adalah ketika Jokowi berjanji akan membentuk kabinet yang terdiri atas para ahli di bidangnya sebagaimana “zaken kabinet” era Bung Karno.
Menteri dari parpol? Wajar. Sebab karier politik dibangun lewat parpol. Menteri juga adalah jabatan politik. Yang salah adalah ketika para menteri itu tak menanggalkan baju parpolnya. Begitu diangkat menteri, mereka langsung menjadi profesional. Lepaskan baju parpol. Jangan menjadi ATM parpol. Pembiayaan parpol adalah pemicu korupsi.
Wujudkan visi, misi dan program kerja presiden, bukan visi, misi dan program kerja parpol. Kesetiaan kepada parpol berakhir ketika kesetiaan kepada negara dimulai. Begitu pun Jokowi. Ia bukan petugas partai lagi.
Mengapa Jokowi lebih banyak memilih kader parpol daripada profesional untuk duduk di kabinet?
Pertama, Jokowi yang berpasangan dengan KH Ma’ruf Amin hanya menang tipis atas pasangan Prabowo-Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019. Demi kuatnya legitimasi politik, ia butuh dukungan parpol sebanyak-banyaknya, baik di kabinet maupun di legislatif. Lalu direkrutlah menteri-menteri dari parpol yang kemudian bermasalah itu.
Dukungan politik diperlukan agar kebijakan-kebijakan Jokowi terlaksana dengan mulus.
Kedua, Jokowi bukan ketua umum parpol, bahkan dianggap sebagai petugas partai. Sebab itu, dalam menelurkan kebijakan-kebijakan dan mengangkat pejabat, ia tak bisa independen. Ia selalu dalam tekanan parpol. Bahkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tak segan-segan minta jatah kursi kabinet paling banyak secara terbuka.
Ketiga, Jokowi “no nothimg to lose”. Sebagai presiden yang menjabat di periode kedua, sehingga terhalang konstitusi bila hendak maju lagi, mestinya Jokowi “nothing to lose”, tanpa beban, karena tidak berharap terpilih lagi. Apa yang menurutnya baik untuk rakyat, mestinya langsung dilaksanakan saja, tak perlu terlalu mempertimhangkan suara elite parpol.
Mungkin karena banyak utang budi dengan banyak pihak, sehingga seolah-olah Jokowi tersandera kepentingan mereka, termasuk relawan. Ketika ada menteri yang terlalu dominan, Jokowi pun diam.
Alhasil, dari tiga menteri yang dicokok KPK itu, kita bisa menguak “misteri” yang melingkupi Jokowi.
Karyudi Sutajah Putra, wartawan, penulis, konsultan