MRS Diminta Kooperatif
Jakarta, hariandialog.co.id – Upaya Polri menegakkan hukum atas dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang mengiringi kepulangan dan safari dakwah Muhammad Rizieq Syihab (MRS) pada November lalu, memasuki babak baru dan menimbulkan kontroversi lanjutan. MRS diminta kooperatif
“Selain pembangkangan hukum dengan tidak menghadiri panggilan Polri dan menghalang-halangi anggota Polri menjalankan tugasnya (obstruction of justice), MRS juga menebarkan kecemasan baru potensi penyebaran Covid-19 dengan ‘kabur’ dari Rumah Sakit UMMI, Bogor, dengan kondisi yang belum jelas, apakah positif atau negatif Covid-19. Sebaiknya MRS kooperatif,” ujar Ketua Setara Institute Hendardi di Jakarta, Senin (7/12/2020).
Peristiwa terbaru, penembakan terhadap 6 orang pengikut MRS oleh anggota Polri pada Senin (7/12) dini hari telah menjadi kontroversi baru. “Di satu sisi Polri memaparkan alasan obyektif adanya ancaman terhadap jiwa manusia anggota Polri sebagai pembenaran atas tindakan represif yang dilakukan anggotanya. Di sisi lain, penggunaan senjata api oleh Polri dalam mengatasi peristiwa tertentu, tetap harus mengacu pada prosedur-prosedur yang ketat dan harus dapat dipertanggung-jawabkan,” jelas Hendardj.
Ia lalu merujuk Peraturan Kapolri (Perkap) No 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI. “Aturan-aturan itu harus dipatuhi,” tegas Hendardi.
Tertembaknya 6 orang warga sipil, lanjut Hendardi, tentu menjadi keprihatinan dan tidak seharusnya terjadi. “Tetapi jika betul senjata-senjata yang ditunjukkan Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya adalah senjata milik anggota FPI, maka pembelaan Polri atas jiwa anggotanya yang terancam bisa diterima. Namun demikian, untuk memenuhi standar yang diterapkan dalam Perkap No 8/2009 tersebut, Polri harus melakukan evaluasi pemakaian senjata api oleh anggotanya,” paparnya.
Kapolri Jenderal Idham Azis, lanjut Hendardi, dapat memerintahkan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) untuk melakukan evaluasi atas fakta-fakta yang menjadi alasan pembenar penggunaan senjata api.
“Pada saat yang bersamaan, kami mendorong agar MRS kooperatif memenuhi panggilan Polri dalam pemeriksaan dugaan pelanggaran protokol kesehatan, termasuk kasus-kasus lain yang mangkrak dan diduga melibatkan dirinya sebelum menetap di Arab Saudi,” pintanya.
Pembangkangan MRS atas upaya penegakan hukum dan kapitalisasi kharisma dirinya sebagai habib, terang Hendardi, telah memicu kepatuhan buta beberapa orang pengikutnya yang merasa dirinya syahid saat membela MRS.
“Kami mengingatkan bahwa jika benar senjata api yang ditunjukkan oleh Polri adalah milik anggota FPI, mereka bukanlah syuhada sebagaimana klaim FPI tetapi pengikut buta yang dijadikan martir oleh MRS dan elite FPI untuk memupuk simpati,” tukasnya.
“Mereka telah memiliki senjata api secara ilegal dan ditujukan untuk menghalang-halangi penegakan hukum. Oleh karenanya tindakan mereka merupakan kejahatan,” sambung Hendardi.
Paralel dengan upaya evaluasi Polri, Hendardi mendorong Polri terus melakukan tindakan hukum yang tegas, terukur dan akuntabel menangani berbagai tindak pidana yang dilakukan anggota-anggota organisasi pengusung aspirasi intoleran, premanisme berjubah agama, dan elite-elite yang menjadi ‘conflict entrepreneur’ (pengusaha konfik atau orang yang menangguk untung dari konflik, red) di belakang mereka. Episode pasca-kepulangan MRS adalah ujian bagi Polri untuk menegakkan hukum,” tandasnya. (yud)