Opini

Tamaknya Wakil Rakyat Kami

Oleh:Karyudi Sutajah Putra

Benar kata orang: air laut semakin banyak direguk, semakin membuat dahaga. Begitu pun harta: semakin banyak dimiliki, semakin membuat pemiliknya kekurangan.

Fenomena semacam itulah yang terjadi dengan wakil-wakil rakyat kami di Ibu Kota: tamak!

Diberitakan, anggaran pendapatan untuk 106 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Tahun 2021 naik menjadi Rp 888,6 miliar, tepatnya Rp 888.681.846.000.

Hal itu dipicu oleh adanya usulan kenaikan gaji dan tunjangan anggota Dewan pada tahun 2021 sebesar Rp 8,38 miliar, tepatnya Rp 8.383.791.000.

Artinya, setiap anggota Dewan akan mendapat gaji sebesar Rp 698.649.250 (Rp 698,6 juta) per bulan yang mencakup pendapatan langsung, pendapatan tidak langsung, serta anggaran kegiatan sosialisasi dan reses.

Komponen anggaran ini agak berbeda dengan tahun 2020. Sebelumnya, gaji pokok anggota DPRD DKI dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan jabatannya.

Ketua DPRD mendapat Rp 168 juta, empat Wakil Ketua DPRD mendapat masing-masing Rp 128 juta, dan 101 anggota DPRD mendapat masing-masing Rp 129 juta. Pendapatan tersebut belum dipotong Pajak Penghasilan (PPh) masing-masing sebesar Rp 18 juta.

Jika dirinci pada anggaran gaji, tahun 2021 nanti anggota Dewan rencananya akan beroleh gaji pokok sebesar Rp 173 juta, tepatnya Rp 173.249.250 per bulan. Itu belum dipotong PPh sebesar Rp 18 juta. Artinya, gaji pokok anggota Dewan akan naik sebesar Rp 44 juta per bulan pada 2021.

Sementara itu, jika dibandingkan dengan tahun 2020, gaji dan anggaran kegiatan anggota DPRD DKI Jakarta akan naik sebesar Rp 569,6 juta (Kompas.com, 2 Desember 2020).

Namun, Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Mujiyono mengklaim usulan tersebut masih sebatas draf, belum final.

Bila usulan tersebut nanti disahkan, lalu logika semacam apakah yang dapat menjelaskan mengapa gaji dan tunjangan wakil rakyat kami hendak dinaikkan, kalau bukan ketamakan?

Tunjangan perumahan akan naik menjadi Rp 110.000.000 per bulan. Akal sehat semacam apakah yang dapat menjelaskan hal ini? Apa para wakil rakyat itu memang belum punya rumah? Lalu selama ini mereka tinggal di mana: hotel, apartemen, rumah kontrakan atau lainnya?

Tidakkah mereka tahu bahwa di Ibu Kota masih banyak orang tinggal di atas sungai, kolong jembatan, kolong jalan tol, atau bahkan menjadi “manusia gerobak”?

Tunjangan komunikasi akan naik menjadi Rp 21.500.000 per bulan. Pertanyaannya, apakah para wakil rakyat itu kerjanya hanya bertelepon seharian sehingga dalam sebulan akan menghabiskan pulsa senilai Rp 21,5 juta?

Tunjangan transportasi akan naik menjadi Rp 35.000.000 per bulan. Pertanyaannya, apakah kerja para wakil rakyat itu berputar-putar saja di jalanan seharian, sehingga menghabiskan bahan bakar minyak senilai Rp 35 juta sebulan?

Lebih parah lagi, usulan tersebut diajukan di tengah pandemi Covid-19, ketika rakyat dalam kondisi menderita. Pemutusan hubungan kerja (PHK) marak, angka kemiskinan naik. Apakah mereka menutup mata, telinga dan hati nurani? Mereka benar-benar telah kehilangan “sense of crisis”.

Data Dinas Ketenagakerjaan DKI Jakarta, selama pandemi Covid-19, sebanyak 172.222 pekerja dari 16.198 perusahaan dirumahkan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, angka kemiskinan di DKI Jakarta naik sebesar 1,11 persen, dari semula 3,42 persen pada September 2019, menjadi 4,53 persen pada Maret 2020. Ini merupakan angka terbesar di Indonesia.

Pandemi Covid-19 diketahui pertama kali melanda Indonesia pada 2 Maret 2020. Hingga awal Desember ini angka kemiskinan di Jakarta sebagai dampak Covid-19 diyakini meningkat.

Sekali lagi, logika atau akal sehat semacam apakah yang dapat menjelaskan motif usulan kenaikan gaji dan tunjangan wakil-wakil rakyat kami di Ibu Kota, kecuali ketamakan atau keserakahan?

Apakah naiknya gaji dan tunjangan itu untuk mengeliminasi potensi korupsi? Ternyata tidak juga. Sebab, DPRD DKI tidak bersih dari korupsi, meskipun gaji mereka sudah sangat tinggi. Kasus suap M Sanusi dan dua orang lainnya dari partai berbeda adalah buktinya.

Fenomena yang sama juga terjadi di DPRD-DPRD lain di seluruh Indonesia. Sejak 2004 hingga kini, sedikitjya sudah 3.700 oknum anggota DPRD terlibat korupsi.

Dus, premis bahwa kesejahteraan akan mencegah korupsi pun terpatahkan.

Ada dua jenis korupsi, yakni “corruption by need” atau korupsi yang disebabkan oleh kebutuhan, dan “corruption by greed” atau korupsi yang disebabkan oleh keserakahan.

Untuk jenis “corruption by need”, premis bahwa kesejahteraan akan mencegah korupsi bisa saja berlaku. Tapi untuk jenis “corruption by greed”, premis tersebut sama sekali tak berlaku.

Ada dua penyebab korupsi: niat dan kesempatan. Ada niat tapi tak ada kesempatan, tak akan terjadi itu korupsi. Ada kesempatan tapi tak ada niat, juga tak akan terjadi itu korupsi.

Katakanlah sistem penyusunan anggaran di DKI Jakarta sudah bagus, sehingga bisa menutup peluang atau kesempatan korupsi. Tapi bagaimama dengan niat, siapa yang bisa mengontrol kecuali diri mereka sendiri?

Nah, kalau ketamakan para wakil rakyat kami tidak bisa dikontrol, tercermin dari adanya usulan kenaikan gaji dan tunjangan yang super jumbo, bagaimana niat untuk korupsi dapat dicegah?

Kini, benteng pertahanan terakhir ada di Kementerian Dalam Negeri. Merekalah yang akan mengevaluasi RAPBD yang diajukan daerah-daerah. Bila sesuai asas kepatutan dan kepentingan umum maka akan disetujui. Bila tidak maka akan ditolak. Hal ini diamanatkan Pasal 314 Undang-Undang (UU) No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Bagaimana bila Kemendagri ternyata meloloskan RAPBD DKI Jakarta Tahun 2021 bila nanti diajukan? Berarti akal sehat dan hati nurani elite-elite bangsa ini benar-benar telah mati.

Karyudi Sutajah Putra, wartawan, penulis, warga DKI Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

kirim pesan
Trimakasih Telah Mengunjungi Website Kami