Terkait Penetapan Tersangka dan Penahanan HabibRizieq Shihab Ajukan Praperadilan
Jakarta, hariandialog.co.id – Habib Rizieq Shihab melalui tim kuasa hukumnya resmi mendaftarkan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penetapan dirinya sebagai tersangka penghasutan dan melawan petugas. Pihak yang digugat adalah Kapolri Jenderal Idham Azis dan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Wakilnya, Liliek Prisbawono Adi, SH,MH, menunjuk hakim Akhmad Sahyuti, SH,MH, untuk memeriksa perkara permohonan praperadilan No.150/Prap.Pid/2020. “Benar hakimnya Akhmad Sahyuti. Namun, belum ditentukan kapan sidangnya. Maklum baru diterima kemarin dan langsung ditunjuk Wakil mewakili Ketua PN Jakarta Selatan hakimnya,” kata Humas PN Jakarta Selatan, Suharno, SH,MH.
Selain keduanya, gugatan juga ditujukan kepada penyidik perkara laporan polisi, Kepala Subditkamneg Direskrimum Polda Metro Jaya cq. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat sebagai Termohon I.
“Kapolda (Termohon II) dan Kapolri (Termohon III),” ujar tim hukum Habib Rizieq Shihab, Aziz Yanuar
Gugatan dilayangkan karena pihaknya melihat ada sejumlah kejanggalan. Bahkan, mengada-ada atas penetapan Habib Rizieq sebagai tersangka.
Dalam keterangannya, berikut hal yang dianggap mengada-ada tersebut:
1. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 telah mengubah Pasal 160 KUHP yang dikenakan terhadap klien kami sebagai delik materiil, sehingga penerapannya harus pula disandarkan pada bukti materiil, bukan semata-mata berdasarkan selera penyidik, harus jelas siapa yang menghasut, dan siapa yang terhasut sehingga melakukan tindak pidana dan telah terbukti bersalah di pengadilan, misalnya adanya suatu hasutan sehingga menyebabkan orang terhasut membuat kerusuhan, atau anarkisme, lalu diputus bersalah oleh pengadilan, dan telah berkuatan tetap. Bukti tersebut tidak mungkin ada, karena sebelum ditetapkannya klien kami sebagai tersangka, tidak ada didapati bukti materiil itu. Oleh karenanya kami berpendapat bahwa Pasal 160 KUHP tersebut semata-semata digunakan agar dapat menahan klien kami sebagai orang yang kritis menyuarakan kebenaran;
2. Bahwa Bahwa Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga salah jika disangkakan kepada Pemohon, unsur terpenting dari Pasal tersebut adalah “menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”, maka dengan tidak adanya bukti penetapan karantina wilayah, juga tidak mengakibatkan adanya penetapan kedaruratan kesehatan dalam hal ini Karantina Wilayah dan PSBB yang diumumkan oleh pemerintah pusat cq menteri kesehatan yang diakibatkan langsung oleh perbuatan Klien kami, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 49 ayat (3) UU No. 6 Tahun 2018 Kekarantinaan Kesehatan : “Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri”, penggunan Pasal tersebut oleh pihak kepada klien kami jelas salah, dan mengada-ngada, serta tidak disandarkan pada bukti materiil;
3. Bahwa hubungan sebab-akibat tersebut di atas harus didukung dengan adanya minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP, dan karena delik materiil haruslah didukung oleh bukti materiil pula. Oleh karena tidak adanya bukti materiil yang mendasari penggunaan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai “predicate crime”, dan Pasal 160 KUHP, maka secara otomatis penggunaan Pasal 216 KUHP gugur karena pasal tersebut tidak dapat berdiri sendiri atau harus berkaitan dengan predicate crime-nya. (tob)