SK Dirjen Badilum MA RI Hakim Wajibkan Rehab Pecandu Nakotika
Jakarta, hariandialog.co.id,- Kabar baik bagi pencandu narkoba terutama untuk pencandu yang ingin sembuh, sesuai SK yang ditandatangani oleh Dirjen Badilum Prim Haryadi, hakim diwajibkan rehab pencandu dengan katagori dan kelompok ;
1. Sabu maksimal 1 gram – 2. Ekstasi maksimal 8 butir – 3. Heroin maksimal 1,8 gram – 4. Kokain maksimal 1,8 gram – 5. Ganja maksimal 5 gram – 6. Daun Koka maksimal 5 gram – 7. Meskalin maksimal 5 gram – 8. Kelompok psilosybin maksimal 3 gram – 9. Kelompok LSD maksimal 2 gram – 10. Kelompok PCP maksimal 3 gram – 11. Kelompok Fentanil maksimal 1 gram – 12. Kelompok Metadon maksimal 0,5 gram – 13. Kelompok morfin maksimal 1,8 gram – 14. Kelompok petidin maksimal 0,96 gram – 15. Kelompok kodein maksimal 72 gram – 16. Kelompok Bufrenorfin maksimal 32 gram.
“Majelis hakim dalam proses persidangan dapat memerintahkan agar pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika untuk melakukan pengobatan, perawatan dan pemulihan pada lembaga rehabilitasi medis dan/atau lembaga rehabilitasi sosial,” demikian bunyi SK itu.
Pendekatan restorasi ini hanya bisa diterapkan kepada pecandu, penyalah guna, korban penyalah guna, ketergantungan narkotika dan narkotika pemakaian satu hari. Hal itu sesuai dengan Peraturan Bersama Ketua MA, Menkum HAM, Menkes, Mensos, Jaksa Agung, Polri, dan BNN.
“Panitera memastikan jaksa telah melampirkan hasil asesmen dari Tim Asesmen Terpadu pada saat pelimpahan berkas perkara,” katanya.
Sesuai dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 169/DJU/SK/PS.00/12/2020, disebutkan Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (Dirjen Badilum MA) menegaskan majelis hakim bisa memerintahkan hukuman rehabilitasi medis kepada pecandu narkotika.
Prim Haryadi juga meminta pengadilan wajib menyediakan daftar lembaga rehabilitasi medis atau sosial melalui koordinasi dengan BNN. Lalu apa syarat agar direhabilitasi dan tidak dipenjara? Salah satunya barang bukti saat ditangkap.
“Hakim dapat memerintahkan terdakwa agar menghadirkan keluarga dan pihak terkait untuk didengarkan keterangannya sebagai saksi yang meringankan dalam rangka pendekatan keadilan restoratif,” ujar Prim dalam SK yang ditandatangani pada 22 Desember 2020.** (kbrriau/bing)