Opini

Politik Uang Pilkades di Pemalang, Berkah atau Musibah?

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

Bak menghadapi buah simalakama: dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Itulah “money pilitik” atau politik uang dalam pemilihan kepala desa, termasuk di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.

Dilema itu berlaku baik bagi pemilih maupun calon kepala desa. Bagi pemilih, kalau iming-iming politik uang itu diterima, maka melanggar hukum. Ini musibah. Namun jika tidak diterima, pemilih butuh. Apalagi dalam kondisi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 sekarang ini. Politik uang, dengan demikian, merupakan berkah.

Bagi cakades, jika tidak melancarkan politik uang, mereka tidak akan terpilih. Ini musibah. Tapi jika menggunakan politik uang, mereka melanggar hukum. Ini juga musibah. Akhirnya, ketimbang menjadi pecundang, mereka lebih memilih melanggar aturan, yang penting menang. Pukul dulu, urusan belakangan. “Blessing in disguise” (berkah di balik musibah)?

Pilkades di Pemalang dilaksanakan serentak di 28 desa di 12 kecamatan. Pilkades serentak ini didasarkan atas Peraturan Bupati No 140/450 Tahun 2020, dan telah dilaksanakan pada Minggu (27/12/2020).

Berdasarkan pengamatan penulis di dua kecamatan di Pemalang, dugaan politik uang dalam pilkades begitu masif dan terang-terangan. Hukum ekonomi “supply and demand” pun berlaku. Ada “take and give”. Orang Betawi bilang, “ente jual, ane beli”.

Fenomena politik uang dalam pilkades tak terlepas dari fenomena yang sama dalam pemilihan umum kepala daerah, pemilu legislatif dan pemilu presiden. Termasuk Pilkada Kabupaten Pemalang 2020, 9 Desember lalu.

Menurut penelitian, dihimpun dari berbagai sumber, modus operandi politik uang dalam pilkades sedikitnya meliputi tiga pola. Pertama, membeli ratusan surat suara yang disinyalir sebagai pendukung cakades lawan dengan harga lebih mahal.

Kedua, menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk membagikan uang. Biasanya dilakukan selepas subuh, sehingga disebut “serangan fajar”.

Ketiga, penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu cakades, yakni bandar judi.

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi politik uang di antaranya kemiskinan, sikap pura-pura miskin, atau bermental miskin. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 9 Desember 2019, Pemalang menempati urutan keempat kabupaten termiskin di Jateng setelah Kebumen, Wonosobo dan Brebes.

“Money politics” pun akhirnya menjadi ajang masyarakat mendapatkan uang. Mereka yang menerima uang tidak memikirkan konsekuensi, yakni termasuk menerima suap dan jual-beli suara yang melanggar hukum. Terpenting, mereka mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik juga menjadi faktor penyebab politik uang. Ketika ada hajatan politik seperti pilkades, masyarakat mengabaikan esensi demokrasi dan lebih mengejar keuntungan pribadi sesaat.

Faktor budaya juga mendukung politik uang. Ada yang beranggapan politik uang adalah hal biasa dalam kontestasi pemilihan di tingkat pusat, daerah maupun desa. Pepatah “jer basuki mawa bea” dipahami keliru dengan memaknai wajar orang yang ingin berkuasa mengeluarkan banyak uang.

Di sisi lain, kasus politik uang dalam pilkades belum mendapat perhatian semestinya dalam peraturan perundang-undangan. Tidak kita temui pengaturan perkara politik uang dalam pilkades ini di Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Hal ini berbeda dengan UU No 7/2017 tentang Pemilu dan UU No 10/2016 tentang Pilkada, yang secara detail mengatur penanganan tindak pidana politik uang.

Namun sebenarnya bisa digunakan Pasal 149 KUHP tentang suap dalam pemilihan, di mana pemberi dan penerima sama-sama dapat dipidana.

Faktor terbesar pemicu politik uang dalam pilkades adalah ketakutan. Cakades takut tidak terpilih jika tidak membagikan uang. Semakin takut, semakin banyak uang yang ditebar.

Adapun faktor pemicu ketakutan adalah ambisi. Semakin besar ambisi, semakin besar ketakutannya.

Di pihak lain, mungkin karena muak sering melihat pejabat korupsi, masyarakat pun pragmatis. Mereka bahkan terang-terangan menginginkan adanya serangan fajar. Mereka akhirnya mengesampingkan visi, misi dan program kerja kandidat.

Akibatnya, semua cakades melakukan politik uang. Bahkan mereka saling mengintai jumlah atau nominal uang yang dibagikan lawan. Cakades yang membagikan uang paling banyak, dialah yang akan terpilih.

Lantas, bagaimana nasib cakades bila terbukti melakukan politik uang?

Jika dianalogikan dengan ketentuan dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada, seorang calon dapat gugur atau didiskualifikasi jika terbukti melakukan politik uang. Bahkan bila menggunakan Pasal 149 KUHP, bisa dipidana.

Korupsi Masuk Desa

Sistem politik kita, dalam hal ini pemungutan suara langsung, entah pilkades, pilkada, pemilu atau pun pilpres memang membuka peluang seluas-luasnya untuk terjadinya “money politics”. Makanya, begitu terpilih yang pertama kali muncul di benak mereka adalah bagaimana caranya balik modal. Setelah balik modal, mereka berpikir lagi: bagaimana mencari modal baru untuk pemilihan berikutnya. Segala cara akhirnya dihalalkan, termasuk korupsi.

Akhirnya muncul lingkaran setan korupsi: rakyat “palak” kandidat, kandidat jika terpilih “rampok” uang rakyat, begitu seterusnya.

Di Pemalang, rata-rata seorang cakades bisa menggelontorkan uang dari Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar bahkan lebih. Maka betapa banyak kades yang kemudian dipenjara karena korupsi.
Berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), 2016-2017 ada 110 kades menjadi tersangka korupsi, 2018 ada 102 kades tersangka korupsi, 2019 ada 46 kades menjadi tersangka korupsi dengan kerugian negara Rp 32,3 miliar, dan 2020 jumlah kades terlibat korupsi diyakini lebih banyak seiring meningkatnya jumlah Dana Desa.

Dalam konteks pilkades, bila dilihat dari pendapatan resmi kades selama 6 tahun menjabat, hampir dapat dipastikan mereka tidak akan balik modal. Makanya mereka kemudian mencari sumber-sumber siluman, bahkan korupsi. Apalagi saat ini Dana Desa hampir mencapai Rp 1 miliar per desa per tahun. Ini kesempatan emas. Korupsi pun masuk desa.

Dalam banyak kasus, modus operandi korupsi Dana Desa bermacam-macam, antara lain melalui “mark up” atau penggelembungan biaya proyek. Kepala desa sering kongkalikong dengan sekretaris desa, perangkat desa, hingga pengurus Badan Perwakilan Desa (BPD). Maka tidak aneh bila oknum-oknum itu mendadak kaya atau menjadi OKB (Orang Kaya Baru). Padahal, mereka tak punya sumber penghasilan lain. Di sinilah perlunya diberlakukan sistem pembuktian terbalik.

Mengapa banyak kepala daerah dan kepala desa korupsi? Selain karena faktor niat dan kesempatan, hal itu tak lepas dari adagium Lord Acton (1804-1902), “The power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutly”.

Kepala daerah/kepala desa dipilih langsung oleh rakyat. Mereka tak bisa dipecat oleh siapa pun, karena suara rakyat suara Tuhan, vox populi vox dei. Mereka sendirilah yang bisa “memecat” dirinya dengan melakukan pelanggaran hukum. Akibatnya, mereka “powerfull”. Bahkan cenderung menjadi raja-raja kecil.

Kalau sudah begini, “quo vadis” (mau dibawa ke mana) demokrasi?

Karyudi Sutajah Putra, wartawan kelahiran Pemalang, tinggal di Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

kirim pesan
Trimakasih Telah Mengunjungi Website Kami