Opini

Misteri Kematian

Karyudi Sutajah Putra

Kematian adalah misteri. Ia menghampiri siapa saja yang dikehendaki. Ia menghindari siapa saja yang tak dikehendaki. Maka hanya ada satu cara menghadapi kematian: pasrah!

“Hidup hanya menunda kekalahan. Sekali berarti, sudah itu mati.” 

Demikian Chairil Anwar (1922-1949) dalam dua sajaknya, “Derai Derai Cemara” (1949) dan “Diponegoro” (1943).

Cepat atau lambat, kematian itu pasti akan datang. Jika kematian diandaikan sebagai kekalahan, maka kita hanya bisa menunda kekalahan itu dalam hidup ini. Sebab itu, buatlah hidup ini menjadi penuh arti. Sekali berarti, sudah itu mati.

Kematian adalah misteri. Kita tak bisa memilih ruang dan waktu, atau di mana dan kapan kita harus mati. 

Jika bisa memilih tempat, tentu orang akan memilih rumah ibadah sebagai tempat mati, bahkan saat orang itu beribadah.

Kalau bisa memilih waktu, tentu orang akan memilih ketika semua urusan di dunia ini dianggap sudah selesai. Pekerjaan sudah rampung, jabatan sudah pensiun, anak-anak sudah mandiri, dan sebagainya.

Pun, kita tak bisa memilih cara untuk mati.

“Ada dua cara kematian. Tergantung amal dan perbuatan. Ada yang bagai rambut dicabut dari tepung. Ini mati bagi yang takwa.”

“Namun bagi orang yang durjana. Mati ‘kan merupakan derita. Sakitnya bagai sutra dicabut dari duri.

Ini azab Tuhan yang nyata.”

Demikian Raja Dangdut Rhoma Irama dalam lagunya, “Kematian”.

Kematian adalah misteri. Ada dua orang sakit. Umurnya sama. Penyakitnya sama. Berobat pada dokter dan rumah sakit yang sama. Satu sembuh, satu mati.

Agama mengajarkan, bila maut sudah menjemput, bersembunyi di lubang semut pun kita tak akan luput. Sebaliknya, bila maut belum menjemput, bunuh diri sekalipun kita akan tetap luput.

Kematian adalah misteri. Ini juga terbukti dalam musibah jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ182 rute Jakarta-Pontianak, Kalimantan Barat, di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, Sabtu (9/1). Sebanyak 62 orang (50 penumpamg dan 12 kru) seluruhmya diperkirakan meninggal dunia.

Kematian menghampiri siapa pun yang dikehendaki. Dengan wajah tersenyum, kematian seakan hadir dan orang tak kuasa menolaknya.

Ada seorang pramugari yang seharusnya tidak bertugas, tetapi “terpaksa” bertugas dalam penerbangan SJ182 itu untuk menggantikan temannya. Ia adalah Isti Yudha Prastika (35), pramugari NAM Air yang menggantikan tugas pramugari Sriwijaya Air, yang masih dalam satu grup usaha.

Lalu ia ikut jatuh bersama 61 orang lainnya dan (hampir 100 persen dapat dikatakan) mati. Jika tak bertugas dalam penerbangan nahas itu, Isti tentu belum akan mati. Kalaupun mati, itu oleh sebab lain.

Pun, ada sejumlah penumpang yang dialihkan penerbangannya dari NAM Air ke Sriwijaya Air SJ182, karena pada jam tersebut NAM Air tidak beroperasi. Lalu mereka pun ikut jatuh dan (hampir 100 persen dapat dikatakan) mati. Kalau penerbangan mereka tak dialihkan, tentu mereka belum akan mati. Kalaupun mati, tentu oleh sebab lain. Menurut maskapai tersebut, pengalihan penumpang dari satu pesawat ke pesawat lain dalam satu grup itu hal biasa.

Peti Mati

Mungkin karena senyum wajah kematian terlalu manis sehingga membuat orang terpikat, ada sepasang kekasih asal Ende, NTT yang memaksakan diri menggunakan KTP orang lain demi bisa menumpang Sriwijaya Air SJ182. Sejoli itu adalah Teofilus Lau Ura dan Selfi. Adapun KTP yang mereka gunakan milik Feliks Wenggo dan Sarah Beatrice Alomau. Kini keluarga korban sedang mengurus segala sesuatunya supaya kedua korban mendapatkan klaim asuransi meski menggunakan KTP orang lain.

Kematian menghindari siapa pun yang tak dikehendaki. Dengan wajah menyeringai, kematian itu seolah datang dan orang terpaksa menolak.

Ada sejumlah calon penumpang Sriwijaya Air SJ182 yang batal terbang karena tidak mengantongi surat hasil tes swab PCR Covid-19. Mereka antara lain Paulus Yulius Kollo, Indra Wibowo, Rachmawati, dan penyair asal Melayu, Asrizal Nur alias Asnur bersama istri dan kedua anaknya.

Sebagai pekerja, Yulius dan Indra mengaku tak mampu membayar biaya tes PCR yang mereka sebut mencapai Rp 2,5 juta. Keduanya kemudian memutuskan untuk menumpang kapal laut dari Tanjung Priok tanpa membatalkan tiket Sriwijaya Air yang sudah terlanjur dibeli. Sebab itu, nama keduanya tercantum dalam daftar manifes penumpang Sriwijaya Air SJ182 di urutan pertama dan kedua.

Rachmawati, pegawai Kementerian Agama di Jakarta yang juga qoriah internasional, rencananya hendak pulang ke kampung halamannya di Mempawah, Kalbar. Namun pemberitahuan dari maskapai akan wajibnya dia melampirkan surat hasil tes PCR mendadak, sementara ia hanya mengantongi surat hasil rapid tes antigen. Rachmawati pun batal terbang. Wajah kematian menyeringai lalu pergi darinya.

Hal serupa dialami Asnur, istri dan kedua anaknya ketika hendak menengok anaknya yang sedang kuliah di IAIN Pontianak. Wajah kematian menyeringai lalu pergi dari mereka.

Memang, dalam setiap musibah jatuhnya pesawat, hampir dapat dipastikan 100 persen penumpang dan kru akan mati. Bila ada yang tidak mati, itu namanya mukjizat atau keajaiban. Keajaiban itu datangnya dari Tuhan. 

Sebab itu, jika kita menumpang pesawat, maka sama saja dengan masuk peti mati. Takut atau tidak takut, siap atau tidak siap, bila pesawat itu jatuh, maka kita akan mati.

Akan tetapi, kita yang masih hidup ini tak perlu terlalu lama berurai air mata. Sebab, kata Ebiet GAD, kematian hanyalah tidur panjang, maka mimpi indahlah. Ruh tak pernah mati. Yang mati hanyalah jasad.

Dalam keyakinan agama, kematian hanyalah medium perpindahan alam dari dunia ke alam baqa. Di alam baqa (kelanggengan) ada surga dan neraka. Surga bagi yang amal perbuatannya di dunia baik, sedangkan neraka bagi yang amal perbuatannya di dunia buruk.

Alhasil, berlomba-lombalah kita dalam kebaikan. Berlomba-lombalah kita meraih surga. Sehingga begitu maut menjemput, kapan pun dan di mana pun serta dengan cara apa pun, kita sudah siap menghadapi misteri itu.

Karyudi Sutajah Putra, wartawan, penulis, konsultan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

kirim pesan
Trimakasih Telah Mengunjungi Website Kami