Opini

Fenomena Malin Kundang Zaman “Now” dan Janji Kapolri Baru

Karyudi Sutajah Putra

Masih ingatkah kita akan Malin Kundang, legenda dari kampung nelayan Pantai Air Manis di Padang, Sumatera Barat?

Semasa kecilnya, Malin Kundang amat disayang ibunya, Mande Rubayah, seorang janda. Setelah dewasa, Malin Kundang merantau dan menikahi putri seorang bangsawan kaya-raya. Tapi Malin Kundang kemudian tak mau mengakui Rubayah sebagai ibunya. Akhirnya anak durhaka itu dikutuk ibunya menjadi batu.

Bila sudah lupa atau samar-samar, tak perlu lagi kita membaca legenda Malin Kundang itu. Cukuplah kita mencermati fenomena Malin Kundang zaman “now” seperti yang terjadi di Bandung, Demak, Semarang, Lombok Tengah, dan sebagainya.

Di Bandung, Jawa Barat, fenomena Malin Kundang terjadi pada keluarga RE Koswara.
Koswara digugat secara perdata senilai Rp 3 miliar oleh anak kandungnya sendiri, Deden, gara-gara masalah rumah. Deden adalah anak kedua dari Koswara.

Kasus ini bermula saat Deden menyewa sebagian rumah milik Koswara di Jalan AH Nasution, Kota Bandung. Deden menyewa sebagian rumah itu sejak 2012.

Di tahun 2020, Koswara berencana menjual rumahnya karena kebutuhan biaya hidup. Akhirnya sewa-menyewa dibatalkan, dan uang Deden pun dikembalikan.

Deden tak mau terima. Dia kemudian mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Dalam gugatannya, penggugat meminta uang Rp 3 miliar.

Lebih ironis lagi, penggugat Deden menggunakan kuasa hukum bernama Masitoh, yang ternyata masih anak kandung dari Koswara. Sidang perdana kasus ini digelar pada Selasa (19/1). Namun, sehari menjelang sidang, Masitoh meninggal dunia karena pembengkakan jantung.

Lalu apa kata Koswara? “Saya kaget, (digugat) tiga miliar. Uang dari mana? Menyekolahkan mereka juga sudah susah,” ujar Koswara.

Di usianya yang kini menginjak 85 tahun, Koswara ingin istirahat. Namun, gugatan justru datang kepadanya yang dilakukan oleh anak kandungnya sendiri (detiknews.com, 19/1).

Masih di Bandung, tahun 2018 lalu empat orang anak berinisial AS, DR, AR, dan AK menggugat ibu kandungnya yang bernama Cicih (78) sebesar Rp 1,6 miliar ke PN Bandung karena masalah harta warisan.

Di Demak, Jawa Tengah, seorang anak, Agesti Ayu Wulandari (19), melaporkan ibu kandungnya sendiri, Sumiyatun (39), ke polisi. Sejak Jumat (8/1), sang ibu mendekam di sel tahanan Polsek Demak Kota.

Perempuan yang sehari-hari berjualan pakaian di Pasar Bintoro dan telah bercerai dengan suaminya, Khoirul Rahman (40) ini memiliki tiga anak. Setelah perceraian itu, Agesti ikut ayahnya yang tinggal di Jakarta. Sedangkan adiknya yang masih remaja dan balita tinggal bersama ibunya di Demak.

Konflik pertama muncul saat mantan suami Sumiyatun mengambil anak balita mereka tanpa sepengetahuannya. Hingga akhirnya Khoirul dan Agesti datang ke Demak pada 21 Agustus 2020.

Lalu ayah dan anak itu mendatangi rumah Sumiyatun bersama perangkat desa. Agesti masuk ke rumah ibunya, mencari bajunya. Ibunya jengkel, lalu bilang ke anaknya, suruh minta belikan ayahnya yang katanya banyak uang.

Namun, Agesti tetap mencari bajunya hingga akhirnya sang ibu berkata bahwa baju-baju Agesti telah ia buang.

Agesti sempat mendorong ibunya hingga jatuh. Saat sang ibu akan kembali berdiri, tangannya refleks menyentuh anaknya. Agesti terkena kuku ibunya. Agesti akhirnya melaporkan ibunya ke Polsek Demak Kota pada 22 Oktober 2020 dengan tuduhan penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga. Sumiyatun dijerat dengan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) subsider Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.

Itu versi pengacara Sumiyatun. Sedangkan versi mantan suaminya, Khoirul Rahman, putrinya melaporkan Sumiyatun karena kesal ibunya itu berselingkuh dengan laki-laki lain. Pun, uang kuliah Agesti digunakan Sumiyatun untuk berfoya-foya dengan selingkuhannya.

Lalu, apa kata Sumiyatun? “Ya Allah gusti, uripku (hidupku),” katanya.

Setelah mendapat desakan dari berbagai pihak, akhirnya Agesti mencabut laporan ke ibunya, Rabu (13/1). Perdamaian keduanya dilakukan di Kejaksaan Negeri Demak.

Di Semarang, Jawa Tengah, Dewi Firdauz (52) digugat secara perdata di PN Salatiga oleh anak kandungnya sendiri, Alfian Prabowo (25), terkait persoalan mobil.

Gugatan bermula dari sebuah mobil Toyota Fortuner. Sebelum bercerai dengan suaminya, Dewi adalah istri dari mantan Direktur RSUD Salatiga dr Agus Sunaryo. Namun, pada September 2019, keduanya bercerai.

Tahun 2013, Dewi membeli mobil Toyota Fortuner di Semarang. Namun karena saat itu Dewi baru saja menjual mobil Yaris dan belum balik nama, maka dia atas namakan anaknya, Alfian Prabowo.

Dewi mengaku membeli mobil itu dari hasil kerja kerasnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Tetapi usai perceraian itu, Alfian Prabowo menggugatnya.

Alfian meminta mobil tersebut. Jika tidak diberikan maka itu dihitung sewa dan saat ini menurut perhitungan Alfian sewanya sudah mencapai Rp 200 juta.

Alfian pun memberikan opsi lain jika ibunya tidak mampu membayar uang sewa mobil. Yakni, rumah yang ditempati Dewi saat ini akan disita sebagai jaminan.

Lalu apa kata Dewi? Dewi merasa, tindakan anak kandungnya itu telah melampaui batas. “Kalau rumah ini disita, lalu saya mau tinggal di mana?” katanya.

“Saya tidak memakai pengacara karena Allah adalah pembela saya. Allah akan menemani ibu-ibu yang membesarkan anaknya dengan ikhlas,” lanjut Dewi.

Di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, seorang ibu berinisial KS (61), dilaporkan anak kandungnya sendiri, MS (45), ke polisi gegara motor warisan seharga Rp 11 juta, Juni 2020. Namun, polisi meminta masalah itu diselesaikan secara kekeluargaan.

Janji Kapolri Baru

Pelaporan demi pelaporan itu, gugatan demi gugatan itu, mengapa bisa terjadi? Mengapa seorang anak tega melaporkan atau menggugat ibu atau bapak kandungnya sendiri?

Apakah para anak itu lupa pernah dilahirkan ibunya dan dibesarkan ibu-bapaknya? Mengapa mereka melupakan perjuangan ibunya yang mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan anaknya?

Apakah mereka tidak menghargai air susu ibunya dan tetesan keringat ayahnya yang tak mungkin terbayarkan dengan apa pun?

Mengapa pula polisi memerima laporan mereka, dan pengadilan pun menerima gugatan mereka terhadap ibu atau bapaknya sendiri?

Ada ketentuan polisi tidak boleh menolak laporan masyarakat, dan pengadilan pun tak boleh menolak gugatan masyarakat, sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi. Akan tetapi, apakah sesaklek itu?

Hukum memang harus ditegakkan, bahkan wajib ditegakkan, tapi juga harus mendengarkan kata hati nurani, dan berpedoman pada perspektif norma-norma lainnya, seperti norma agama.

Ke depan, semoga tak muncul lagi fenomena Malin Kundang zaman “now” baru. Apalagi Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang segera dilantik Presiden Joko Widodo sebaga Kepala Kepolisian RI (Kapolri) yang baru telah berjanji tidak akan memproses pelaporan anak kepada orangtuanya.

Saat menjalani “fit and proper test” atau uji kelayakan dan kepatutan dI Komisi III DPR RI, Rabu (19/1), Komjem Listyo Sigit Prabowo mengatakan, ke depan penegakan hukum akan dilakukan secara humanis dan menegakkan keadilan. Bukan dalam rangka kepastian hukum semata.

Saat ini, katanya, masyarakat perlu penegakan hukum yang menegakkan rasa keadilan bagi masyarakat. Bukan penegakan hukum hanya dalam rangka kepastian hukum.

Untuk itu, kata (mantan) Kepala Badan Reserse Krimimal (Kabareskrim) Polri ini, apabila dirinya dipilih menjadi Kapolri, maka tidak akan ada lagi kasus anak yang melaporkan ibunya atau bapaknya dan diproses. Menurut dia, hukum yang seperti ini hanya untuk mencari kepastian hukum.

Kita tunggu realisasi janji Kapolri baru!

Karyudi Sutajah Putra, wartawan, penulis, konsultan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

kirim pesan
Trimakasih Telah Mengunjungi Website Kami