Opini

Anies, Riwayatmu Kini

Karyudi Sutajah Putra

Fraksi-fraksi “bertengkar” di DPR. Pemicunya: Anies Baswedan. Kok bisa?

Bisa saja. Ada fraksi yang konsisten, ada fraksi yang inkonsisten. Yang konsisten atau taat asas keukeuh dengan Undang-Undang (UU) No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Anies pun akan kehilangan panggung.

Sesuai pakem, pilkada akan digelar serentak pada 2024. Aturan itu tertuang dalam UU No 10/2016. Pasal 201 UU Pilkada tersebut mengatur pilkada dilaksanakan hanya sampai 2020. Pilkada serentak selanjutnya digelar pada 2024. Pilkada 2024 akan menyerentakkan seluruh pilkada yang ada di Indonesia.

Konsekuensinya, daerah-daerah yang seharusnya menggelar pilkada pada 2022 dan 2023 akan mengalami kekosongan pejabat kepala daerah. Sebab itu, Pasal 210 ayat (10) dan (11) UU No 10/2016 mengatur pemerintah untuk menunjuk penjabat gubernur, bupati, dan wali kota.

Selain alasan regulasi, mereka yang istikomah dengan agenda Pilkada 2024 berdalih saat ini Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19, sehingga tahun 2022 dan 2023 tidak tepat untuk gelaran pilkada.

Namun, banyak pihak tak percaya dengan alasan objektif itu. Mereka berasumsi, Pilkada 2024 merupakan upaya menjegal Anies Baswedan dalam Pilpres 2024.

Jika pilkada digelar pada 2024 dan masa jabatan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta berakhir pada 2022, maka sejak dua tahun menjelang Pilpres 2024, Anies tak punya panggung. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini akan menjadi “gelandangan politik”.

Dengan menjadi “gelandangan politik”, elektabilitas Anies akan terjun bebas. Padahal sementara ini namanya kerap bertengger dalam survei capres berbagai lembaga.

Itu bagi yang taat asas. Bagi yang inkonsisten atau mau melanggar pakem, dan agar tidak benar-benar dianggap melanggar pakem, mereka menghendaki revisi UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memasukkan jadwal Pilkada 2022.

Hal tersebut tertuang dalam Pasal 731 ayat (2) draf RUU Pemilu. Disebutkan, pemilihan kepala daerah hasil Pilkada 2017 dilaksanakan pada 2022. Termasuk DKI Jakarta tentunya yang terakhir menggelar pilkada pada 2017 yang memunculkan Anies sebagai pemenang.

Melalui revisi UU Pemilu, kelak UU No 10/2016 tentang Pilkada dan UU No 7/2017 tentang Pemilu dilebur menjadi satu.

Sambil menyelam minum air. Mereka yang tak taat asas mengusulkan agar pilkada serentak digelar pada 2022. Bukan hanya DKI Jakarta, tetapi juga 100 daerah lainnya.

Sebenarnya mereka punya alasan objektif. Pertama, jika pilkada digelar serentak dengan pilpres dan pileg pada 2024 maka akan terjadi penumpukan beban kerja, terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jangan salahkan jika akan banyak lagi petugas pemungutan suara yang meninggal dunia saat menjalankan tugas.

Kedua, pemerintah akan kesulitan mencari penjabat gubernur, bupati dan wali kota untuk 101 daerah.

Ketiga, atensi masyarakat akan lebih tersedot ke pilpres daripada pileg apalagi pilkada, sehingga kualitas dan integritas calon anggota legislatif dan calon kepala daerah luput dari kritik masyarakat.

Namun, alasan-alasan objektif itu mereka abaikan. Desakan agar pilkada serentak digelar pada 2022 diasumsikan sebagai upaya melapangkan jalan Anies menuju kursi RI-1.

Jika pilkada digelar pada 2022 maka para pendukungnya “haqqul yaqin” Anies bakal unggul. Sebagai petahana, Anies bisa mengerahkan segala sumber daya untuk mempertahankan jabatannya. Sebaliknya jika pilkada digelar pada 2024.

Dengan terpilih kembali menjadi gubernur, langkah Anies menuju kursi RI-1 diyakini kian ringan. Bukankah Presiden Jokowi sebelum naik ke kursi RI-1 juga sempat menduduki kursi DKI-1 meski hanya dua tahun?

Fraksi-fraksi yang mendukung Pilkada 2022 adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Golkar, Partai Nasional Demokrat, dan Partai Demokrat. Sedangkan fraksi-fraksi yang menolak Pilkada 2022 adalah PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara Partai Gerindra masih “wait and see”.

Dus, banyak yang berspekulasi usulan Pilkada 2022 tak lain demi memuluskan jalan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ke Pilpres 2024. Sebaliknya, Pilkada 2024 diasumsikan sebagai ganjalan untuk mengadang Anies meraih kursi RI-1.

Benarkah Anies Baswedan sepenting itu, sampai-sampai merevisi atau tidak merevisi jadwal pilkada pun dikaitkan dengannya?

Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, semua partai politik berkepentingan dengan Anies. Baik berkepentingan mendukung atau pun berkepentingan menolak demi keuntungan politik masing-masing.

Jika PKS mendukung Anies, itu karena parpol ini pada Pilkada 2017 mendukung mantan Rektor Universitas Paramadina ini. Artinya PKS konsisten, meskipun di dalam politik berlaku adagium, “yang konsisten adalah inkonsistensi itu sendiri”.

Jika PD mendukung Anies, itu karena parpol besutan Susilo Bambang Yudhoyono ini ingin “mengawinkan” ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono dengan Anies pada Pilpres 2024. “Chemistry” atau kesenyawaan AHY lebih dekat ke Anies daripada kandidat capres lainnya.

Jika Nasdem mendukung Anies, itu karena ketua umumnya, Surya Paloh selama ini memang sudah terbiasa “main mata” dengan Anies. Seperti Golkar, Nasdem pun sangat pragmatis.

Jika Golkar mendukung Anies, itu karena parpol yang ideologinya karya-kekaryaan ini selalu menempel pada penguasa. Siapa pun yang potensial menang pilpres, Golkar pasti akan mendukungnya.

Sebaliknya, jika PDIP menolak Anies, itu karena parpol yang diketuai Megawati Soekarnoputri ini sejak Pilkada 2017 tidak mendukung Anies, termasuk untuk Pilpres 2024 tentunya. Seperti PKS, PDIP pun konsisten. Sebab itu, wajar jika parpol ini mendukung Menteri Sosial Tri Rismaharini, kadernya, blusukan ke pelosok-pelosok Ibu Kota. Jika Pilkada DKI Jakarta digelar pada 2022, tak tertutup kemungkinan PDIP akan mencalonkan Risma untuk mengadang Anies. Begitu pun dalam Pilpres 2024.

Sebenarnya mereka tak perlu paranoid terhadap Anies. Melihat kinerjanya selama menjabat Gubernur DKI Jakarta yang nyaris tanpa terobosan signifikan, belum tentu ia akan terpilih lagi jika maju dalam Pilkada 2022 apalagi 2024. Kecuali ada faktor X seperti pada Pilkada 2017. Mungkin faktor X inilah yang mereka takutkan akan bangkit kembali.

Plus, sudah ada parpol pendukung yang mendesak agar Anies mundur lantaran pria yang dijuluki pendukungnya “gubernur rasa presiden” ini “lempar handuk” dengan meminta pemerintah pusat mengambil alih penanganan Covid-19 di Jabodetabek. Pemerintahan Anies juga menutup pintu transparansi yang telah dirintis gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Jadi, apa yang harus ditakutkan dari Anies Baswedan kecuali faktor X yang belum tentu muncul kembali itu? Paranoia terhadap Anies justru akan kian melambungkan namanya.

Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

kirim pesan
Trimakasih Telah Mengunjungi Website Kami