Opini

Sun Tzu di Antara Abu Janda dan Natalius Pigai

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

Bermula dari perang di dunia maya, berlanjut ke perang di dunia nyata. Itulah yang terjadi di antara Abu Janda, pegiat media sosial, dan Natalius Pigai, bekas komisioner Komnas HAM.

Di antara keduanya, “ada” Sun Tzu (544-496 SM), filsuf, jenderal dan ahli strategi perang asal Tiongkok kuno, penulis buku “The Art of War” (Seni Perang).

“Pinjam tangan seseorang untuk membunuh.” Itulah strategi ke-3 dari 36 strategi perang ala Sun Tzu.

Disadari atau tidak, strategi itulah yang dipakai Natalius Pigai, yang patut diduga “pinjam tangan” Haris Pertama, yang mengklaim diri sebagai Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), untuk melaporkan Abu Janda ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.

Haris melaporkan Abu Janda dengan dugaan rasisme terkait kata “evolusi” yang ditujukan kepada Pigai, Kamis (28/1), dan terkait kata “Islam arogan”, Sabtu (30/1). Keduanya bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).

Heddy Setya Permadi, nama asli Abu Janda, atau nama panggung parodinya Permadi Arya, sudah diperiksa Bareskrim Polri, Senin (1/2).

Dalam dugaan rasisme terkait evolusi Pigai, sebenarnya Abu Janda bermaksud “membela” AM Hendropriyono. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu terlibat “twitwar” (perang cuitan di Twitter) dengan Pigai, 2 Januari lalu. Pigai mempertanyakan kapasitas Hendropriyono. Sebaliknya, Abu Janda mempertanyakan kapasitas Pigai dengan mempertanyakan evolusinya sudah selesai atau belum.

Terkait dugaan “Islam arogan”, perkara bermula dari “twitwar” antara Tengku Zulkarnain, bekas Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan Abu Janda. Akun Twitter @ustadtengkuzul mulanya mem-posting unggahan soal kaum minoritas yang arogan terhadap kaum mayoritas di Afrika Selatan. Akun tersebut juga menyebut kini ulama dan Islam dihina di NKRI. Cuitan Zul itu diunggah pada Minggu (24/1).

Cuitan tersebut lalu dibalas Abu Janda. Dalam akun Twitternya, @permadiaktivis1, Abu Janda menyebut yang arogan adalah Islam yang datang dari Arab yang kemudian mengharamkan budaya asli dan kearifan lokal yang ada di Indonesia.

“Pertahanan terbaik adalah menyerang.” Strategi perang ala Sun Tzu ini mungkin menginspirasi Abu Janda, sehingga ia pun menerapkan strategi ke-3 ala Sun Tzu, sebagaimana Pigai.

Patut diduga “pinjam tangan” Aznil Tan dan Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa Mitra Kamtibmas (PPMK), Abu Janda melaporkan Pigai ke Bareskrim Polri, Senin (1/2), terkait dugaan rasisme. Pigai diduga menghina suku Jawa.

Perkara ini bermula dari cuplikan video berdurasi 33 detik yang diunggah Abu Janda di akun Twitternya. Dalam tayangan video tersebut, Pigai berkomentar soal presiden dan wakil presiden yang berasal dari pulau yang sama, yakni Jawa.

Dalam video tersebut, Pigai menyatakan selain suku Jawa itu suku babu. PPMK juga mempermasalahkan pernyataan Pigai di salah satu media online bahwa etnis Jawa merupakan etnis tirani.

Terkait kata-kata “di luar Jawa suku babu”, Pigai beralibi tidak merujuk pada suku tertentu di Indonesia.

Sedangkan terkait etnis Jawa sebagai etnis tirani, Pigai menyebut pernyataan tersebut tidak menyerang siapa-siapa.

Menurut Pigai, jika hal itu dipersoalkan maka akan mencoreng kebebasan berpendapat dan mengkritik di Indonesia.

Pigai juga menyebut kasus saling lapor ini tidak akan membuatnya berdamai dengan terduga pelaku rasisme terhadap Papua.
Tidak ada barter, itu harga diri Papua, kata Pigai.

Sementara itu, sebagai Muslim, Abu Janda mengaku tak percaya dengan kebenaran teori evolusi Darwin, sehingga ungkapannya itu bukan untuk menghina Pigai. Abu Janda juga mengutip kata “evolusi” di Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) yang artinya adalah “berkembang”.

Darwin dimaksud adalah Charles Robert Darwin (1809-1882) yang dikenal sebagai ahli biologi, ekologi, dan geologi asal Inggris. Darwin sangat terkenal dengan teori evolusinya. Dia beraksioma, semua spesies berasal dari nenek moyang yang sama dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam teorinya, Darwin menyebut manusia adalah hasil evolusi dari kera atau monyet. Abu Janda meyakini manusia pertama adalah Adam.

Abu Janda juga mengaku menjadi korban “framing”. Cuitannya kala itu dipotong sedemikian rupa sehingga konteks pembicaraannya dengan Zulkarnain hilang.

“Aku ini memang dari kemarin kena ‘framing’, padahal aku enggak pernah bilang Islam arogan,” kata Abu Janda.
Di sinilah patut diduga Pigai dan Zulkarnain menerapkan strategi ke-15 Sun Tzu, yakni, “Giring macan untuk meninggalkan sarangnya. Jangan pernah menyerang secara langsung musuh yang memiliki keunggulan akibat posisinya yang baik. Giring mereka untuk meninggalkan sarangnya sehingga mereka akan terjauh dari sumber kekuatannya.”

Nasi sudah menjadi bubur. Abu Janda sudah terlanjur masuk perangkap. Akibat “framing” itu, terbentuklah sudah “common sense” (perasaan umum) di tengah masyarakat.

Kini, semua telunjuk diarahkan ke Abu Janda. Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Banser dan Gerakan Pemuda Ansor, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan PP Pemuda Muhammadiyah, dan pihak-pihak lainnya mempersilakan dan mendukung Polri memproses hukum Abu Janda.

“Influencer” ini pun ibarat Abimanyu, putra Arjuna dari Pandawa dalam kisah Mahabharata, yang dihujani ribuan anak panah Kurawa dalam perang Bharatayuda di Kurusetra, 3000 tahun Sebelum Masehi.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun sudah berikrar untuk tidak diskriminatif dalam menegakkan hukum dan keadilan. Tak akan ada lagi pedang keadilan tumpul ke atas tajam ke bawah.

Namun, terlepas dari itu semua, apa sesungguhnya kontribusi bagi bangsa ini dari ungkapan-ungkapan Abu Janda, dan juga “influencer” lainnya seperti Denny Siregar di satu pihak, maupun Natalius Pigai dan Tengku Zulkarnain di pihak lain, kecuali kegaduhan demi kegaduhan? Lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.

Abu Janda dan Denny Siregar menjaga kebinekaan? Jagalah Bhinneka Tunggal Ika dengan tidak mengganggu kebinekaan pihak lain. Tak seorang pun bisa memilih untuk dilahirkan dari etnis apa. Itu kehendak dan rahmat Tuhan. Termasuk Pigai yang dari Papua itu.

Pigai dan Zulkarnain menjaga demokrasi? Demokrasi pun ada batasnya, yakni etika dan hukum. Kalau demi demokrasi lalu melanggar hukum, siapa pun harus diminta pertanggungjawaban sesuai prinsip “equality before the law”.

Sedikit pesan buat Abu Janda, jangan terlalu bergantung kepada siapa pun di dunia ini. Sebab bayanganmu saja akan meninggalkanmu di saat gelap.

Karyudi Sutajah Putra, wartawan, penulis, konsultan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

kirim pesan
Trimakasih Telah Mengunjungi Website Kami