Opini

Antara AHY, Sun Tzu dan Pandora

Karyudi Sutajah Putra

Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Maksud hati mengagetkan ular, apa daya justru membuka kotak Pandora.

Itulah yang terjadi dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat (PD), mantan tentara berpangkat mayor.

Tak ada hujan tak ada angin, tiba-tiba putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden ke-6 RI dan Ketua Majelis Tinggi PD, ini menggelar konferensi pers di markas besar partainya, Jakarta, Senin (1/2).

Katanya, ada orang-orang yang mau mengudeta dirinya dari kursi Ketua Umum PD. Para pengudeta itu berasal dari eksternal dan internal partai. Mungkin AHY terinspirasi peristiwa kudeta militer di Myanmar beberapa jam sebelumnya pada hari yang sama. Maklum, ia mantan militer.

Namun, dengan tuduhannya itu, disadari atau tidak, AHY telah menerapkan strategi ke-13 dari 36 strategi perang ala Sun Tzu (544-496 SM).

“Kagetkan ular dengan memukul rumput di sekitarnya. Ketika anda tidak mengetahui rencana lawan secara jelas, serang dan pelajari reaksi lawan. Perilakunya akan membongkar strateginya.”

Demikian Sun Tzu yang dikenal sebagai filsuf, jenderal dan ahli strategi perang asal Tiongkok kuno, penulis buku “The Art of War” (Seni Perang), sebuah strategi militer yang secara luas berpengaruh terhadap filosofi Barat dan Timur.

AHY pun berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk klarifikasi perihal adanya pihak eksternal PD, yang ada di lingkungan Istana, yang hendak melakukan kudeta itu. Ini juga bagian dari “memukul rumput untuk mengagetkan ular” tadi.

Sayangnya, begitu rumput dipukul dan ularnya belum juga terkejut kemudian keluar, para hulubalang AHY justru sudah mengeluarkan “ular-ular” itu dari mulut masing-masing. Mereka justru menyebut nama-nama yang diduga sebagai “ular” yang hendak melakukan kudeta itu. Sedikitnya ada lima nama.

Ya, sebelum ada reaksi dari pihak lawan, para hulubalang AHY seperti Wakil Ketua Umum PD Syarief Hasan, Ketua Badan Pemenangan Pemilu PD Andi Arief, dan Wakil Sekretaris Jenderal PD Rachland Nashidik justru menyebut nama-nama “ular” itu secara jelas dan terbuka.

Dari pihak eksternal misalnya disebut nama Moeldoko, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Moeldoko disebut hendak mengambil alih kursi Ketua Umum PD yang sedang diduduki AHY untuk kepentingannya maju sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Moeldoko disebut melakukan pertemuan di sebuah hotel di Jakarta pada 27 Januari 2021 dengan para pengurus PD dari daerah-daerah serta elite-elite PD yang disebut sebagai barisan sakit hati. Dalam pertemuan itu, konon para pengurus daerah dijanjikan uang hingga ratusan juta bahkan miliaran rupiah bila mereka mau menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) PD untuk mendongkel AHY dari kursi empuknya.

Sedangkan dari pihak internal misalnya disebut nama Marzuki Alie, mantan Sekjen PD dan mantan Ketua DPR RI, Jhonny Allen Marbun, anggota DPR RI dan mantan Wakil Ketua Umum PD, Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum PD dan mantan anggota DPR RI, serta Max Sopacua, mantan anggota DPR RI.

Tidak hanya sampai di situ, disadari atau tidak, AHY juga menerapkan strategi ke-34 dari 36 strategi perang ala Sun Tzu yang berbunyi, “Lukai diri sendiri untuk mendapatkan simpati musuh. Berpura-pura terluka akan mengakibatkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, musuh akan bersantai sejenak oleh karena dia tidak melihat anda sebagai sebuah ancaman serius. Yang kedua adalah jalan untuk menjilat musuh anda dengan berpura-pura luka oleh sebab musuh merasa aman.”

Playing Victim

Dengan kata lain, AHY melancarkan strategi “playing victim”, memosisikan dirinya seolah-olah menjadi korban. Dengan itu, ia berharap mendapatkan simpati publik, dan terutama lawan politik. Strategi inilah yang juga kerap dipraktikkan SBY, dan sering berhasil.

Dikutip dari sebuah sumber, salah satu cara seseorang menghadapi sebuah peristiwa atau masalah adalah dengan mengambil peran sebagai korban, baik secara sadar maupun tidak. Hal inilah yang disebut dengan “playing victim”. Menurut pakar, cara ini biasa dilakukan oleh mereka yang merasa takut atau tidak berani menghadapi dan mengakui keberadaan amarah dalam dirinya.

Adanya rasa takut ini, ditambah kekhawatiran akan mendapat tekanan atau perlawanan dari orang lain, membuat orang yang kerap melakukan “playing victim” lebih dulu mengambil peran sebagai korban. Ini diambil sebelum dia dicap sebagai pihak negatif oleh lingkungan sekitarnya.

Strategi adalah senjata utama dalam perang, kata Sun Tzu. Sayangnya, apa yang dilakukan AHY itu justru membuka kotak Pandora. Apa itu kotak Pandora?

Dalam mitologi Yunani kuno, ada sebuah kisah tentang seorang perempuan rupawan bernama Pandora. Pada hari pernikahannya dengan Epimetheus, ia mendapatkan hadiah dari para dewa berupa sebuah kotak yang indah. Namun Pandora dilarang membukanya.

Ketika kotak itu dibuka karena rasa penasaran, ternyata keluarlah segala macam keburukan mulai dari masa tua, rasa sakit, kegilaan, wabah penyakit, keserakahan, pencurian, dusta, kecemburuan, kelaparan, hingga berbagai malapetaka lainnya.

Kerika AHY melontarkan tuduhan ada pihak-pihak yang mau mengudeta dirinya, reaksi eksternal partainya justru rata-rata negatif. Termasuk para pengamat independen. Berbagai dugaan keburukan partainya seolah terlontar keluar. Reaksi positif hanya datang dari kalangan internal partainya, terutama para hulubalang.

Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, misalnya. Bekas Panglima TNI ini mengakui pernah bertemu dengan para pengurus daerah dan elite PD. Tapi bukan untuk menyusun strategi penggulingan AHY, melainkan sekadar untuk mendengarkan curhat (curahan hati) mereka.

Hal yang sama, menurut Moeldoko, juga dilakukan koleganya di Kabinet Indonesia Maju, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Jadi, kata Moeldoko, bukan sesuatu yang luar biasa. Bedanya, ketika LBP yang melakukan itu tidak ada yang ribut, tetapi ketika Moeldoko melakukannya ada yang kebakaran jenggot.

Pengamat pun demikian. Langkah AHY menyurati Jokowi mereka nilai salah alamat. Maka benarlah bahwa AHY memukul rumput untuk mengagetkan ular. Menyurati Jokowi sekadar untuk mengagetkan Moeldoko.

Adapun Marzuki Alie siap buka-bukaan tentang kondisi internal PD. Marzuki mengancam, jika AHY terus memojokkannya, maka ia akan membuka dugaan keburukan kepemimpinan AHY di PD sehingga aib itu menjadi konsumsi publik. Marzuki menantang AHY untuk buka-bukaan.

Begitu pun Max Sopacua yang kini sudah keluar dari PD. Mantan reporter TVRI ini minta para juniornya di bekas partainya agar jangan mengajari dia soal terpilihnya AHY secara aklamasi sebagai ketua umum dalam Kongres PD V/2020. Sebab, semasa menjabat Ketua Steering Committee Kongres PD IV/2015, Max mengklaim tahu bagaimana cara SBY terpilih secara aklamasi, menggantikan Anas Urbaningrum, Ketua Umum PD sebelumnya. Jadi, jangan ajari ikan berenang. Begitu kira-kira kata Max.

Api di dalam sekam PD pun kini asapnya sudah mengepul keluar, termssuk soal faksi. Disebut ada enpat faksi di partai berlambang mersi besutan SBY ini. Yakni, faksi Subur Budisantoso, faksi Hadi Utomo, faksi Anas Urbaningrum, dan faksi Marzuki Alie.

Sebenarnya pada Kongres PD III/2010 Marzuki Alie maju bertarung melawan Anas Urbaningrum, tapi tak direstui SBY, sehingga keok.

Begitu pun dalam Kongres PD IV/2015, Marzuki pun hendak maju sebagai calon ketua umum. Tapi lagi-lagi tak direstui SBY. Akhirnya SBY yang terpilih aklamasi menjadi ketua umum setelah sejak 2013 mengambil alih kepemimpinan PD setelah Anas terjerat kasus korupsi proyek Hambalang.

Pada Kongres V/2020, seakan jabatan Ketua Umum PD diwariskan SBY kepada AHY begitu saja. Ketidakpuasan kader pun meluas. Ketidakpuasan itu menjadi api dalam sekam, magma, bahkan bom waktu yang kini meledak sudah.

Apalagi saat SBY menjabat ketua umum, putra bungsunya, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas didapuk menjadi sekjen. Ketika sang kakak menjabat ketua umum, Ibas kini didapuk menjadi Ketua Fraksi PD di DPR RI, jabatan yang pernah disandang Anas saat menjadi Ketua Umum PD. Hadi Utomo, Ketua Umum PD 2005-2010 adalah ipar Ibu Ani Yudhoyono (almarhumah), istri SBY. Maka kesan PD sebagai partai keluarga pun tak terelakkan.

Kini, nasi sudah menjadi bubur. Jurus Sun Tzu yang dilancarkan AHY sudah terlanjur membuka kotak Pandora. Lantas, apa strategi AHY selanjutnya untuk menutup kotak Pandora itu, sehingga kebaikan dan kebahagiaan yang masih tersisa di dalamnya tidak ikut terlontar keluar?

Kita tunggu saja jurus AHY berikutnya.

Karyudi Sutajah Putra, analis politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

kirim pesan
Trimakasih Telah Mengunjungi Website Kami