Museum Narsistik SBY
Karyudi Sutajah Putra
Institusionalisasi personal. Mungkin inilah yang terjadi dengan SBY. Ia ingin menjadikan dirinya sebagai institusi. Lalu didirikanlah “Museum dan Galeri SBY-ANI”. Galeri untuk dirinya, museum untuk mendiang istrinya.
“Museum dan Galeri SBY-ANI” dibangun di atas lahan seluas 1,5 hektare di Jalan Lintas Selatan, Kelurahan Ploso, Kecamatan/Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Luas total bangunan museum sekitar 7.500 meter persegi. Peresmian pembangunan museum ini dilakukan SBY pada 22 Februari 2020.
Pacitan adalah tanah kelahiran SBY. Di museum inilah mungkin SBY akan menyimpan hal ihwal tentang diri dan keluarganya, termasuk rekaman lagu-lagu ciptaannya yang memang lumayan banyak.
Sementara untuk mendiang Ibu Ani, yang meninggal dunia pada 1 Juni 2019, SBY bisa memuseumkan foto-foto hasil jepretannya, serta kain batik dan songket koleksinya. Semasa menjadi Ibu Negara, Ibu Ani memang hobi fotografi serta berburu kain batik dan songket ke penjuru Nusantara.
Galibnya, museum didirikan untuk menyimpan benda-benda bersejarah. Galibnya pula, museum didirikan untuk sesuatu yang sudah dianggap sebagai sejarah.
Apakah Presiden ke-6 RI bernama lengkap Susilo Bambang Yudhoyono ini memang sudah menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia? Bisa jadi, karena ia adalah mantan Presiden. Kalaupun belum dapat dikatakan sebagai sejarah yang bisa dimuseumkan, minimal hal ihwal SBY dan keluarganya bisa masuk galeri. Sebab itu, namanya pun “Museum dan Galeri SBY-ANI”: galeri untuk SBY, museum untuk mendiang istrinya yang bernama lengkap Kristiani Herawati.
Mendirikan museum itu soal biasa. Keluarga mendiang Soeharto pun mendirikan museum. Yang tak biasa, museum itu dinamai sesuai dengan nama pendirinya. Orangnya pun masih hidup pula. Lain halnya jika yang mendirikan museum adalah orang lain kelak bila SBY sudah tiada.
Bandingkan dengan nama museum yang didirikan keluarga mendiang Presiden Soeharto, Museum Purna Bhakti Pertiwi.
Museum Purna Bhakti Pertiwi didirikan oleh Yayasan Purna Bhakti Pertiwi atas prakarsa Ibu Tien Soeharto. Museum yang berada di kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, ini berisi koleksi benda-benda dan cenderamata berharga yang bersangkut-paut dengan perjalanan pengabdian Presiden ke-2 RI, Soeharto, dan Ibu Negara Ny Siti Hartinah alias Ibu Tien Soeharto.
Tapi tidak. Mungkin SBY memang sedang narsis. Ini bila pendirian museum itu diinisiasi oleh dirinya sendiri. Atau mungkin saja ada pendukung SBY yang ingin mengkultuskan individu mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini.
Yang tak biasa lagi, pembangunan museum yang kental dengan nuansa personal ini ternyata mendapat alokasi anggaran bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Nilainya tak main-main: Rp 9 miliar!
Anggaran Rp 9 miliar itu sudah cair pada 9 Desember 2020. Namun belum diserahkan kepada Yudhoyono Foundation sebagai calon penerimanya.
SBY lahir pada tanggal 9 bulan 9 tahun 1949. Dus, seolah-olah semua angkanya serba 9: Rp 9 miliar, 9 Desember 2020, dan 9 September 1949.
Bendahara Umum Partai Demokrat Renville Antonio mengklaim SBY tak pernah meminta dana bantuan itu. Bantuan itu adalah inisiatif Soekarwo saat menjabat Gubernur Jawa Timur, atas permintaan Pemerintah Kabupaten Pacitan. Soekarwo adalah politisi Partai Demokrat, bahkan pernah menjabat Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur. Jadi, jika benar, tanpa diminta pun anggaran itu dialokasikan.
Sebaliknya dengan SBY yang terjebak institusionalisasi personal, Soekarwo dan Bupati Pacitan Indartato mungkin sedang terjebak personalisasi institusi. Keduanya seolah memperlakukan institusi seperti memperlakukan dirinya sendiri.
Sense of Crisis
Kalau memang mau mendirikan museum, silakan dirikan saja. Tapi jangan sampai membebani keuangan negara atau daerah. Apalagi museum itu bernuansa personal. Bagi SBY, anggaran Rp 9 miliar itu sesungguhnya kecil. Mengapa harus menggunakan anggaran negara?
Tidak sadarkah kita bahwa saat ini rakyat Indonesia sedang menderita akibat pandemi Covid-19? Pengangguran bertambah, kemiskinan menjamur di mana-mana. Sekadar mengais uang Rp 9 ribu saja susahnya tak terkira.
Lalu bagaimana dengan anggaran Rp 9 miliar yang sangat banyak itu? Bila Yudhoyono Foundation tetap mau memerimanya, itu pertanda bahwa SBY dan keluarganya tidak memiliki empati dan “sense of crisis”. Itu karena mereka narsis.
Begitu pun Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Bupati Pacitan Indartato jika tidak menarik kembali alokasi dana bantuan itu.
Kalau memang ada yang mau narsis, silakan dengan modal sendiri. Kalau ada yang mau kultus individu, jangan pula gunakan uang negara.
Narsistik
Apakah institusionalisasi personal dalam “Museum dan Galeri SBY-ANI” itu terkait gejala narsistik? Semoga tidak, dan kita yakin tidak.
Dikutip dari halodoc.com, narsistik adalah kondisi gangguan kepribadian di mana seseorang akan menganggap dirinya sangat penting dan harus dikagumi.
Pengertian akan kepribadian narsistik sendiri berasal dari Yunani, ketika seorang pemuda bernama Narcissus jatuh cinta pada bayangannya sendiri ketika tidak sengaja melihat dirinya pada kolam air.
Pengidap kepribadian narsistik biasanya merasa bahwa dirinya memiliki pencapaian yang luar biasa dan lebih baik dari orang lain serta merasa bangga secara berlebihan pada dirinya. Hal tersebut terjadi meskipun pencapaian yang dimiliki sebenarnya biasa-biasa saja.
Pengidap narsistik juga biasanya memiliki tingkat empati yang rendah kepada orang lain, dan menganggap dirinya memiliki kepentingan yang lebih tinggi dari orang lain.
Pengidap gangguan kepribadian narsistik memiliki perasaan yang mudah tersinggung dan bisa dengan mudah merasakan depresi ketika mereka dikritik oleh orang lain, meskipun mereka memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Lalu, siapakah dia yang selama ini “baperan”?
Kepribadian narsistik masuk dalam kategori gangguan kepribadian (antisosisal dan pembatasan diri) karena pada umumnya pengidap gangguan kepribadian ini memiliki perilaku yang dramatis dan emosional.
Narsis? No way!
Karyudi Sutajah Putra, wartawan, penulis, konsultan.