Opini

Absennya Parpol dalam Bencana

Karyudi Sutajah Putra

Pemilu 2024 masih tiga tahun lagi. Mungkin karena itulah kita tak menyaksikan kehadiran partai politik di tengah korban bencana alam. Bahkan sekadar bendera parpol pun tidak.

Sejumlah wilayah dilanda banjir. DKI Jakarta dan Jawa Tengah mungkin yang terparah dalam tiga hari terakhir ini. Namun “sejauh mata (batin) memandang”, nyaris tidak ada kehadiran parpol di tengah korban bencana. Mereka benar-benar absen.

Ataukah mereka melakukan operasi senyap? Mereka berprinsip, “jika tangan kanan memberi, maka tangan kiri jangan sampai tahu”?

Untuk parpol, tampaknya hal tersebut tak berlaku. Jangankan memberi bantuan, tidak memberi bantuan saja mereka tak sungkan-sungkan memajang bendera. Itu galibnya.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 8 Februari 2021, terjadi 372 peristiwa bencana alam di wilayah Indonesia sejak awal 2021.

Rinciannya, banjir 227 peristiwa, puting beliung 66 peristiwa, tanah longsor 60 peristiwa, gempa bumi 7 peristiwa, gelombang pasang atau abrasi 7 peristiwa, dan kebakaran hutan dan lahan 4 peristiwa.

Bencana alam tersebut menyebabkan 216 orang meninggal dunia, 12.056 orang terluka, 7 orang hilang, dan 1.769.309 orang lainnya mengungsi.

Bencana juga menyebabkan 4.452 rumah rusak berat, 5.336 rumah rusak sedang, 37.569 rumah rusak ringan, dan 357.365 rumah tergenang. Juga menyebabkan 1.290 fasilitas umum rusak dan 200 lainnya tergenang.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, hingga Sabtu (20/2) pagi, sejumlah wilayah di Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Barat masih terdapat genangan air.

Di Jaksel, 29 RW terendam banjir, terdiri dari 44 RT, dengan ketinggian 40-150 centimeter, dan terdapat pengungsi 7 kepala keluarga (KK) dengan total 19 jiwa.

Di Jaktim, 50 RW tergenang banjir, terdiri dari 143 RT, dengan ketinggian 40-180 cm, dan 372 KK dengan total 1.361 jiwa mengungsi.

Di Jakbar, 4 RW dan 6 RT tergenang banjir. Total jumlah pengungsi di seluruh DKI Jakarta sebanyak 379 KK dengan total 1.380 jiwa.

Apakah parpol-parpol itu berdalih saat ini sedang pandemi Covid-19 sehingga mereka pun mengalami krisis keuangan dan akhirnya tidak bisa membantu korban bencana?

Motor penggerak parpol adalah kader-kader yang duduk di eksekutif dan legislatif. Penghasilan mereka sama sekali tak terpengaruh pandemi. Sebab, sejauh ini gaji mereka lancar-lancar saja. Justru rakyat yang terdampak bencana itulah yang nasibnya ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Rakyat sengsara dua kali. Terdampak krisis ekonomi akibat pandemi, terdampak bencana pula.

Jadi, bukan karena krisis ekonomi akibat pandemi lalu parpol-parpol itu absen dari bencana, melainkan karena waktu pelaksanaan pemilu masih cukup lama. Belanda masih jauh, kata mereka.

Bencana Demokrasi

Sistem demokrasi yang berkembang di Indonesia sudah sedemikian transaksionalnya. Ada uang, ada suara. Lalu muncullah anekdot-anekdot pemilu: NPWP (nomer piro wani piro), RRI (rono-rene iyo), dan sebagainya.

Akibatnya, politisi dan parpol enggan melakukan investasi jangka panjang, seperti melakukan pendidikan politik dan memberi bantuan saat terjadi bencana.

Apalagi memori bangsa ini relatif pendek. Buktinya, seorang koruptor baru keluar penjara pun dapat terpilih menduduki jabatan publik. Begitu pun seorang pelaku adegan mesum.

Harus ada “tak and give”. Para politisi baru bergerak menjelang pemilu, bahkan pas waktu kampanye saja. Alias siklus lima tahunan. Berbeda halnya dengan gambar. Sepanjang tahun selama lima tahun poster-poster mereka bertebaran.

Menjelang pemungutan suara, mereka baru gencar bagi-bagi sembako dan angpao. Suara masyarakat pemilih dihitung per kepala.

Di pihak lain, masyarakat apatis. Sebab, banyak wakil rakyat dan kepala daerah yang mereka pilih terlibat korupsi. Sejak pemilihan kepala daerah digelar secara langsung tahun 2004, hingga kini sudah sekitar 400 kepala daerah terlibat korupsi. Itu di eksekutif.

Di legislatif, sejak 2004 hingga kini sedikitnya 100 anggota DPR RI dan 3.700 anggota DPRD terlibat korupsi. Masyarakat akhirnya menjadi pragmatis. Mereka cenderung melihat pemilu sebagai peluang untuk mendapatkan materi. Kondisi ini berawal dari kurangnya kesadaran masyarakat menegakkan demokrasi karena minimnya pendidikan politik.

Di sinilah money politics dan korupsi berkelindan. Politisi kalau tidak menebar uang, tak akan dipilih. Menebar uang, baru dipilih.

Akhirnya begitu terpilih, yang pertama kali muncul di benak mereka adalah bagaimana caranya agar cepat balik modal. Jika sudah balik modal, mereka berpikir lagi bagaimana mencari modal baru untuk pemilihan berikutnya. Segala cara dihalalkan, termasuk korupsi. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 36% kasus korupsi yang ditangani lembaga antirasuah ini melibatkan politisi.

Di sinilah korupsi menciptakan lingkaran setan. Inilah bencana demokrasi: money politics dan korupsi!

Karyudi Sutajah Putra, wartawan, penulis, konsultan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

kirim pesan
Trimakasih Telah Mengunjungi Website Kami