Terawan yang Tak Kunjung Padam
Karyudi Sutajah Putra
Ketika kegelapan datang, nyaris semua orang mengumpat. Tak ada yang mencoba menyalakan lentera. Namun ketika ada yang mencoba menyalakan lentera, suluh penerang itu coba dipadamkan.
Terawan Agus Putranto, ketika mencoba menyalakan lentera, pun selalu coba dipadamkan. Bahkan oleh komunitas dan koleganya sendiri. Tapi lentera Terawan tak kunjung padam. Untuk “menyelamatkannya”, kini Terawan hendak “dibuang” ke Spanyol.
Sebenarnya nyaris tiga kali ini Presiden Jokowi “menyelamatkan” Terawan. Pertama, saat Terawan terlibat “konflik” dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Jokowi mengangkatnya menjadi Menteri Kesehatan. IDI protes. Jokowi bergeming. Akhirnya IDI gigit jari.
Kedua, saat Terawan dianggap tak becus menangani pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia. Jokowi mencopotnya dari jabatan Menkes. Terawan mengaku pencopotan dirinya itu merupakan upaya Jokowi menyelamatkannya. Entah menyelamatkannya dari apa dan siapa. Mungkin dari pihak-pihak yang mem-“bully”-nya.
Ketiga, saat Terawan menginisiasi vaksin Nusantara untuk melawan Covid-19. Banyak pihak menentangnya. Mereka minta pemerintah tidak membiayainya serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak mengizinkannya. Jokowi kembali bergeming. Mungkin sebagai kompromi, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menunjuk Terawan, yang juga mantan Kepala RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, berpangkat letnan jenderal, menjadi Duta Besar RI untuk Spanyol. Dubes kerap diasumsikan sebagai jabatan buangan.
Substansi versus Birokrasi
Pangkal konflik Terawan dengan koleganya sebenarnya sederhana: Terawan lebih berorientasi pada substansi dan hasil, sedangkan para koleganya berpegang teguh pada birokrasi.
Kalau pola pikir para penentang Terawan yang konvensional dan linier itu diikuti, niscaya tak akan ada terobosan di bidamg kesehatan di Indonesia.
Sebagai dokter anggota IDI, Terawan pernah dipecat dalam sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) PB IDI selama 12 bulan, 26 Februari 2018- 25 Februari 2019.
Ia dikenai sanksi atas pelanggaran etik serius karena metode terapi “brain wash” atau “cuci otak” yang ia terapkan bagi penderita stroke.
Dengan metode yang sebenarnya bernama “Digital Substraction Angiography (DSA)” ini, berdasarkan pengalaman, pasien bisa sembuh dari stroke selang 4-5 jam pasca-operasi. Metode pengobatan tersebut disebutnya telah diterapkan di Jerman dengan nama paten “Terawan Theory”.
Metode ini berawal dari disertasi Terawan di Universitas Hasanuddin, Makassar, bertajuk ‘Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis’. Artinya, ada penelitian ilmiah yang jadi awal populernya metode”‘cuci otak” ini.
Namun, metode tersebut dianggap salah karena belum terbukti secara klinis. Padahal, sejumlah tokoh pernah ditangani Terawan dan membuktikan ampuhnya metode “cuci otak” ini. Di antaranya Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Mahfud Md dan Dahlan Iskan. Para mantan pasien Terawan itu pun telah memberikan testimoni akan keampuhan metode “cuci otak” ini.
Sementara itu, vaksin Nusantara sudah menjalani uji coba fase I di RSUP dr Kariadi, Semarang, yang ditangani para ahli dari Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro, serta didampingi 8 orang ahli dari Amerika Serikat, sejak November 2020 atau semasa Terawan menjabat Menkes.
Terawan mengklaim vaksin Nusantara merupakan sebuah revolusi vaksin, di mana vaksin Nusantara dibuat berdasarkan unsur individual.
Vaksin ini menggunakan bahan serum darah dan antigen yang diambil dari setiap individu penerima vaksin.
Sedikitnya ada tiga kelebihan vaksin Nusantara dibandingkan vaksin impor. Pertama, vaksin Nusantara akan bisa bertahan di tubuh seumur hidup. Tidak seperti vaksin yang sudah ada, hanya bertahan 1 tahun, bahkan ada yang hanya 9 bulan atau lebih pendek lagi.
Kedua, penyuntikannya hanya sekali dan tidak sakit karena lokasi penyuntikan vaksin ini tetap berada di lengan tapi tidak perlu dalam-dalam, cukup mencapai bagian lemak saja. Ketiga, tidak perlu disimpan di suhu dingin, cukup di ruangan biasa saja.
Mengutip pendapat Dahlan Iskan, sebenarnya vaksin Nusantara tidak bisa dibandingkan dengan vaksin yang sudah ada. ‘Teknologi’-nya berbeda. Proses vaksinasinya juga tidak sama.
Sinovac menggunakan cara lama: memasukkan virus yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh. Itu untuk merangsang lahirnya imunitas di tubuh terhadap virus tersebut.
Berbagai pandemi, atau pun epidemi, di masa lalu diatasi dengan vaksin jenis ini. Itulah sebabnya vaksin Sinovac dianggap sangat aman.
Lain lagi dengan vaksin Pfizer, AstraZeneca, dan Johnson & Johnson. Mereka ini bermain di RNA, mengubah protein tertentu yang ada di sekitar DNA.
Sedangkan vaksin Nusantara memakai cara baru sama sekali. Termasuk cara vaksinasinya. Cara vaksinasi vaksin Nusantara punya kemiripan dengan “stem cell’.
Dahlan mengaku sudah menjalani puluhan kali terapi “stem cell” untuk menggantikan sel-sel yang sudah rusak di tubuhnya. Sebab itu, ia sudah mendaftarkan diri untuk disuntik vaksin Nusantara karena diyakini aman dan ampuh.
Kini, vaksin Nusantara sudah memulai uji klinis tahap kedua di RSUP dr Kariadi, Semarang, bekerja sama dengan RSPAD Gatot Subroto dan Balitbangkes Kementerian Kesehatan.
Out of The Box
Di pihak lain, epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono meminta pemerintah menghentikan vaksin Nusantara karena metode yang digunakan tidak teruji dan tidak ada izin dari Komite Etik IDI.
Dilansir sebuah media, Pandu mengatakan vaksin Nusantara yang mengandung vaksin dendritik sebelumnya banyak digunakan untuk terapi pada pasien kanker yang merupakan terapi yang bersifat individual. Pada imunoterapi kanker, bukan karena setiap orang diberi jumlah sel dendritik, tetapi karena sel dendritiknya bisa mendapat perlakuan yang berbeda, dalam hal ini yang disesuaikan adalah perlakuan terhadap sel dendritik tersebut.
Pandu pun memberikan dua catatan. Pertama, terdapat perbedaan sel dendritik pada terapi kanker dengan vaksin dendritik, di mana untuk terapi kanker sel dendritik tidak ditambahkan apa-apa, hanya diisolasi dari darah pasien untuk kemudian disuntikkan kembali kepada pasien tersebut. Sementara pada vaksin Nusantara, sel dendritik ditambahkan antigen virus.
Kedua, sel dendritik perlu pelayanan medis khusus karena membutuhkan peralatan canggih, ruang steril, dan inkubator CO2, dan adanya potensi risiko antara lain sterilitas, pirogen, atau ikutnya mikroba yang menyebabkan infeksi dan tidak terstandar potensi vaksin karena pembuatannya individual.
Oleh karena itu, Pandu meminta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk menghentikan vaksin Nusantara demi kepentingan kesehatan masyarakat Indonesia. BPOM juga diminta tidak memberikan izin.
Ketika nanti Terawan benar-benar terbuang ke Spanyol, entah bagaimana nasib vaksin Nusantara ini ke depannya.
Yang jelas, jika bangsa ini masih terjebak dalam pola pikir konvensional dan linier, tidak berani membuat terobosan, terkungkung prosedur dan birokrasi, jangan harap akan bisa mencapai kemajuan.
Bangsa ini butuh pemikiran “out of the box” seperti yang dilakukan Terawan. Namun karena itulah Terawan tidak cocok menjadi birokrat dan harus terbuang. Menjadi dubes pun tak akan tenang.
Karyudi Sutajah Putra, wartawan, penulis, konsultan.