Koruptor, Manusia Berwajah Ganda
Karyudi Sutajah Putra
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang paling sempurna. Sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia bisa menjelma sebagai “malaikat”, bisa pula menjelma sebagai “iblis”. Koruptor contohnya!
Koruptor bisa menjadi manusia berwajah ganda: “malaikat” sekaligus “iblis”. Meskipun bisa saja bukan dalam waktu bersamaan. Hari ini menjadi “malaikat”, esok atau lusa menjadi “iblis”.
Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan yang baru terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka suap proyek infrastruktur, adalah contoh manusia berwajah ganda tersebut.
Jumat (26/2) malam, Nurdin Abdullah, seorang profesor yang juga mantan Bupati Bantaeng, Sulsel, ditangkap KPK bersama Edy Rahmat selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulsel, dan Agung Sucipto selaku kontraktor proyek.
Ketiganya terjerat kasus suap proyek jalur pedestrian wisata di Bira, Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Nurdin diketahui menerima suap melalui Edy Rahmat sebagai perantaranya dari Agus Sucipto sebagai pemberi suap senilai Rp 2 miliar. Nurdin juga disangka menerima suap dari kontraktor lain, sehingga total uang yang ia terima mencapai Rp 5,4 miliar. Ketiganya telah ditetapkan KPK sebagai tersangka.
Meski sudah ditangkap beserta barang bukti berupa uang suap, tapi Nurdin tetap mencoba memerankan diri sebagai “malaikat”. Ia menolak sangkaan sebagai “iblis”. Ia mengaku tak tahu-menahu dengan kasus suap yang menjeratnya, dan mengapa KPK harus menangkap dirinya. Bahkan ia berani bersumpah demi Allah!
Padahal sebagai “malaikat”, Nurdin Abdullah pernah meraih penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) pada 2017 atau saat menjabat Bupati Bantaeng, 2008-2018.
Penghargaan ini diberikan atas penilaian yang dilakukan oleh lima orang dewan juri BHACA, yakni Betti Alisjahbana, Bivitri Susanti, Endy M Bayuni, Paulus Agung Pambudhi, dan Zainal Arifin Mochtar. Kini Zainal mendesak agar BHACA dicabut dari Nurdin.
BHACA digelar secara rutin setiap dua tahun. Namun pada 2019, BHACA tidak diberikan kepada tokoh siapa pun.
Tempo pada 2017 juga memberikan penghargaan kepada Nurdin sebagai salah satu kepala daerah teladan. Pada waktu itu ada 10 kepala daerah termasuk Nurdin yang dipilih oleh PT Tempo Inti Media Tbk. Selain Nurdin, ada pula Bupati Banyuwangi, Jawa Timur, Abdullah Azwar Anas, Bupati Batang, Jawa Tengah, Yoyok Riyo Sudibyo, hingga Wali Kota Bandung, Jawa Barat, Ridwan Kamil.
Pada 2020, Nurdin menerima Good Governance Award dari Muslim Choice Award.
Nurdin juga pernah dipercaya KPK menjadi pembicara pada Hari Antikorupsi 2020. Ketika itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata berharap dengan mengundang kepala daerah yang dinilai melakukan terobosan dalam pemberantasan korupsi maka bisa memberikan solusi penanganan korupsi di daerah.
Akan tetapi, sebagai manusia berwajah ganda, “malaikat” sekaligus “iblis”, ternyata Abdullah tidak sendirian. Ada manusia-manusia lain yang juga berwajah “malaikat” sekaligus “iblis”. Nur Pamudji, misalnya.
Seperti dilansir sebuah media, Nur Pamudji meraih BHACA pada 2013 saat menjabat Direktur Utama PT PLN. “Ini merupakan wujud dari aksi PLN sebagai perusahaan yang bebas dari tindakan suap-menyuap,” kata Nur Pamudji saat menerima penghargaan itu.
Namun, Nur Pamudji kemudian tersandung kasus korupsi. Kasus itu terjadi pada 2010. Kala itu, Nur Pamudji adalah Direktur Energi Primer PLN. Pada 2012, Nur Pamudji menjadi Dirut PLN.
Pada 13 Juli 2020, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan kepada Nur Pamudji. Pada 12 November 2020, hukuman Nur Pamudji dinaikkan menjadi 7 tahun penjara di tingkat banding.
Manusia-manusia berwajah ganda lainnya di antaranya adalah Akil Mochtar, Patrialis Akbar dan Luthfi Hasan Ishaaq.
Pada awal Oktober 2013, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dicokok KPK karena menerima suap. Akil merupakan pejabat tertinggi negara yang pertama, sekaligus pimpinan dari institusi tertinggi penegak hukum di Indonesia yang ditangkap KPK.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 30 Juni 2014 memvonis Akil terbukti bersalah dan dihukum seumur hidup. Hakim menyatakan Akil terbukti bersalah atas berbagai kasus suap terkait sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada).
Akil di antaranya dinyatakan terbukti menerima uang suap Rp 3 miliar terkait permohonan keberatan hasil Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Pilkada Kabupaten Lebak, Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Utara (Rp 10 miliar dan US$ 500 ribu) serta Pilkada Kota Palembang, Sumatera Selatan (Rp 19,866 miliar).
Akil yang juga mantan anggota DPR RI itu juga terbukti menerima suap Rp 1 miliar untuk memenangkan perkara sengketa Pilkada Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara (Rp 2,9 miliar), Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut (Rp 1,8 miliar), serta menerima janji berupa uang untuk memenangkan sengketa Pilkada Jawa Timur (Rp 10 miliar).
Pada Februari 2015, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Akil sehingga hukumannya tetap seumur hidup.
Saat menjadi Juru Bicara MK, Akil berlagak layaknya “malaikat”. Pada Maret 2012, Akil menyatakan usulan memotong jari tangan koruptor dan pemiskinan. Akil menyebut hukuman potong jari dan pemiskinan sebagai cara untuk membuat para koruptor jera.
Slogan yang sama pernah diungkapkan Patrialis Akbar saat menjabat Menteri Hukum dan HAM. Patrialis yang juga mantan anggota DPR RI ini tegas mendukung hukuman mati bagi koruptor dan menyebut koruptor di Indonesia adalah pengkhianat.
Menurut Patrialis, Indonesia perlu meniru langkah Tiongkok yang telah lebih dulu menerapkan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi.
Namun pada 2017, Patrialis Akbar yang merupakan hakim konstitusi MK dicokok KPK. Patrialis ditangkap bersama 10 orang lainnya, diduga menerima gratifikasi terkait judicial review atau uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Pengadilan Tipikor Jakarta pada 4 September 2017 memvonis Patrialis delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan karena terbukti menerima suap 10 ribu dolar AS dan Rp 4,043 miliar untuk mempengaruhi putusan uji materi UU No 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) periode 2009-2014, yang saat itu juga anggota DPR RI, Luthfi Hasan Ishaaq ditangkap KPK pada 30 Januari 2013 dengan sangkaan menerima hadiah atau janji terkait pengurusan kuota impor daging sapi pada Kementerian Pertanian. Luthfi yang dikenal sebagai ustaz atau guru agama ini divonis 18 tahun penjara oleh MA di tingkat kasasi.
Lantas, berapa lama hukuman penjara yang akan dijatuhkan kepada manusia berwajah ganda bernama Nurdin Abdullah? Biarlah KPK dan Pengadilan Tipikor yang bicara.
Karyudi Sutajah Putra, wartawan, penulis, konsultan.