Strategi Kresna dalam Bharatayuda Partai Demokrat
Karyudi Sutajah Putra
“Maka hanya ada satu kata: lawan!”
Penggalan puisi “Peringatan” (1996) karya penyair kiri Wiji Thukul (1963-1998) ini tampaknya menginspirasi 7 kader Partai Demokrat yang baru saja dipecat karena dituduh terlibat kudeta terhadap Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Di antaranya Marzuki Alie, Jhoni Allen Marbun dan Darmizal.
Perlawanan itu mereka lakukan dengan menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) untuk mendongkel AHY dari kursi Ketua Umum Partai Demokrat yang menurut Darmizal akan digelar awal Maret ini di Bali atau tempat lain. Maka, situasi politik di internal Demokrat pun mencekam, bak menjelang perang Bharatayuda antara Pandawa dan Kurawa yang masih berasal dari satu keluarga.
Katakanlah 7 orang yang merasa teraniaya itu adalah Pandawa. Sedangkan AHY beserta pengurus Demokrat lainnya, termasuk Ketua Majelis Tinggi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang dianggap menganiaya, adalah Kurawa.
Jika senapati atau panglima perang kubu Kurawa adalah Dorna atau Drona, maka senapati Demokrat adalah SBY yang terpaksa turun gunung untuk menyelamatkan kursi AHY, putra sulungnya.
AHY berada di puncak gunung, tapi tidak pernah mendaki. Sebab itu, AHY tak tahu cara turun gunung, sehingga SBY terpaksa turun gunung. Demikian Jhoni Allen.
Jika senapati kubu Pandawa adalah Sri Krishna atau Kresna, lalu siapa senapati 7 kader Demokrat yang dipecat itu?
Entahlah. Sebab, di antara mereka tidak ada figur yang terlalu menonjol kekuatan atau kesaktiannya. Marzuki Alie, Jhoni Allen dan Darmizal kekuatannya cuma rata-rata air. Kalau ditimbang-timbang, kekuatan Jhoni Allen-lah yang paling menonjol karena bekas Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu saat ini masih menjabat anggota DPR RI. Disusul Marzuki Alie yang bekas Sekretaris Jenderal Partai Demokrat dan Ketua DPR RI. Darmizal? Ibarat peluru hampa.
Selain puisi Wiji Thukul, mungkin kubu Jhoni Allen ini juga terinspirasi siasat atau strategi Kresna dalam perang Bharatayuda di Kurusetra dalam kisah Mahabharata.
Saat itu, demi melumpuhkan kekuatan Dorna, Kresna yang disebut sebagai titisan atau reinkarnasi Dewa Wishnu menggunakan hoaks atau berita palsu sebagai senjata pamungkas, ketika senjata-senjata ampuh lainnya tak mempan menembus tubuh Dorna, begawan yang merupakan mahaguru Kurawa sekaligus Pandawa itu.
Kresna menyebar hoaks bahwa Aswatama, putra semata wayang Dorna, gugur di medan laga. Padahal sebenarnya Aswatama yang sangat disayangi Dorna ini sengaja disembunyikan, jauh dari medan perang.
Aswatama yang tewas itu sebenarnya juga seekor gajah raksasa milik Prabu Gardapati yang ikut berperang membela Kurawa. Gardapati beserta gajahnya yang sebenarnya bernama Hestitama itu tewas dihantam Gada, senjata milik Bima.
Begitu Hestitama tewas, Bima berteriak, “Aswatama mati,” secara berulang-ulang dan kencang. Teriakan itu pun sampai ke telinga Dorna yang langsung lunglai. Dalam kondisi batin yang pilu dan remuk-redam, Dorna menghampiri Yudistira dan bertanya kepada sulung Pandawa yang dikenal sebagai manusia paling jujur sedunia itu: benarkah Aswatama putra tercintaku telah mati?
Dengan suara kencang, Yudistira membenarkan Aswatama telah mati. Namun jawaban itu sebenarnya belum titik, masih ada koma. Yudistira melanjutkan, “Tapi Hestitama, gajah,” dengan suara sangat lirih sehingga tak terdengar oleh Dorna di tengah kecamuk perang.itu.
Dorna pun langsung terduduk ke tanah. Terpuruk. Semua kesaktiannya hilang. Semua senjata yang dipegangnya dibiarkan jatuh berserakan. Secepat kilat, situasi itu dimanfaatkan Dretajumena yang langsung menebas leher Dorna. Menggelindinglah kepala Dorna ke tanah. Kubu Kurawa akhirnya kalah dalam perang Bharatayuda itu.
Benarkah Marzuki Alie, Jhoni Allen dan Darmizal menggunakan strategi Kresna: menyebarkan hoaks, untuk melawan AHY yang telah memecat mereka? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, Andi Arief merasa namanya dicatut.
Menurut Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat itu, ada pesan berantai yang beredar di WhatsApp (WA) dengan menggunakan nama dan jabatannya serta nomor telepon yang pernah dipakainya dalam kurun 2018-2019. Isi pesan berantai itu: ada 78 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat yang menyetujui digelarnya KLB. Hal itu, menurut Andi Arief, terungkap dari “chatting” yang seolah-olah dilakukan dirinya dengan AHY.
Sontak, bekas staf khusus SBY semasa menjabat Presiden ini pun membantahnya. Pria asal Lampung ini menyebut itu sebagai hoaks.
Mungkin dengan siasat Kresna itulah diharapkan AHY, yang diklaim terpilih secara aklamasi dalam Kongres 2020, akan terbunuh karakternya. Bekas tentara berpangkat mayor ini akan mengalami “character assassination”.
Selanjutnya, SBY selaku senapati Demokrat pun akan lumpuh kekuatannya. Kesaktiannya akan hilang seperti Dorna. KLB pun akan terlaksana. AHY digusur.
Kotak Pandora
Benarkah itu semua? Biarlah waktu yang menjawab.
Yang jelas, Marzuki Alie, Jhoni Allen dan Darmizal akan terus melawan. Jhoni bahkan mulai membuka kotak Pandora Demokrat, SBY dan AHY. Tujuannya: character assassination!
Misalnya, Jhoni menyebut SBY bukan pendiri Demokrat. SBY baru bergabung setelah Demokrat lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu 2004. SBY hanya menyumbang Rp 100 juta untuk biaya rapat di Wisma Kinasih, Bogor. SBY tidak berdarah-darah sebagaimana klaimnya.
SBY juga disebut Jhoni mengambil alih kepemimpinan Demokrat dari Anas Urbaningrum setelah Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI itu disebut terlibat korupsi proyek Hambalang bersama Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin yang telah lebih dulu ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka.
SBY pun dituduh Jhoni merekayasa KLB 2013 sehingga Presiden ke-6 RI itu terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan Anas. SBY pun berjanji hanya akan meneruskan sisa jabatan Anas, tidak akan maju lagi dalam kongres berikutnya. Faktanya, janji itu diingkari. SBY maju lagi dan terpilih menjadi ketua umum pada Kongres 2015 yang disebut Jhoni sarat rekayasa.
Pun SBY dituduh Jhoni merekayasa Kongres 2020, sehingga AHY terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat yang juga diklaim secara aklamasi.
Adapun Marzuki Alie membuka kotak Pandora AHY dan Demokrat. Marzuki menuduh setiap calon kepala daerah yang direkomendasikan partainya dipalak Dewan Pimpinan Pusat (DPP) hingga Rp 500 juta. Marzuki bahkan menuduh mereka yang telah memecatnya itulah yang justru telah merampok Demokrat dari tangan para pendirinya.
Seperti kotak Pandora, begitu tutupnya dibuka Jhoni Allen dan Marzuki Alie, segala keburukan Demokrat, SBY dan AHY berhamburan keluar.
Namun, tentu saja semua itu dibantah kubu AHY.
Akankah KLB untuk melengserkan AHY benar-benar terlaksana? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, kubu Jhoni Allen dituding minta bala bantuan dari Istana.
Yang jelas pula, Marzuki Alie, Jhoni Allen dan Darmizal sudah terlanjur terinspirasi puisi Wiji Thukul, “Maka hanya ada satu kata: lawan!”
Karyudi Sutajah Putra, wartawan, penulis, konsultan.