Virtual Police Mencegah Virus Hoax
Jakarta,hariandialog.co.id – Mabes Polri resmi meluncurkan virtual police atau polisi virtual untuk membangun ruang digital yang bersih, sehat dan bebas virus hoax.
Penyebaran berita bohong layaknya virus yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat. Kehadiran media sosial seolah menjadi wadah baru pembiakan virus berita bohong sehingga melahirkan berbagai fenomena ancaman disintegrasi dan rusaknya harmoni kehidupan masyarakat.
Berita bohong jelas tidak lahir dan menyebar begitu saja di tengah masyarakat. Ada pihak yang sengaja memproduksi dan menyebarkan dengan tujuan dan maksud tertentu. Para produsen berita hoaks kerap memanfaatkan masyarakat pemilik akun yang kurang paham dan kurang kritis untuk ikut terlibat dalam menyebarkan virus hoaks. Alhasil berita bohong menjadi viral.
Di era yang disebut dengan The Post Truth Era, sebuah kebohongan yang terus menerus disebarkan pada akhirnya diyakini sebagai sebuah kebenaran.
Dalam kamus Oxford dijelaskan post truth bermakna keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada berita yang bersifat emosional. Hal ini berimbas pada dikaburkannya publik dari fakta-fakta objektif, sehingga yang dikonsumsi justru informasi yang palsu (hoax).
Post truth ditandai oleh meningkatnya penggunaan media sosial sebagai sumber berita, informasi bohong ikut mendapat tempat. Bersamaan dengan itu ketidakpercayaan terhadap fakta dan data yang disajikan oleh institusi yang berwenang, bahkan media massa semakin besar.
Meminjam istilah Davis Kushner, berita palsu hanyalah gejala. Penyakit sesungguhnya adalah berkurangnya keinginan mencari bukti, mempertanyakan sesuatu dan berpikir kritis” –
Ada beberapa faktor penyebab netizen suka mengonsumsi berita hoax, diantaranya, karena kemalasan, lebih suka membaca judul tanpa membaca keseluruhan isi suatu berita. Banyak netizen juga mengkonsumsi informasi dari satu sumber , tanpa mencari sumber pembanding. Suka latah dan gampangan memencet tombol like and share tanpa terlebih dulu melakukan check dan recheck.
Penyebaran berita hoax yang seolah seperti virus ini melahirkan banyak peristiwa yang secara individu bisa menimbulkan kecemasan, ketakutan serta emosi sampai pada reaksi berlebihan. Di tingkatan masyarakat, hoax bisa jadi ancaman disintegrasi atau perpecahan sampai menimbulkan bencana sosial karena respon yang berlebihan .
Berdasarkan catatan, ada banyak peristiwa yang mengancam terjadinya konflik akibat penyebaran berita bohong yang tersebar di media sosial. Berita hoaks yang sengaja disebar untuk mengadu domba masyarakat pada gilirannya mengancam stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.
Unjuk rasa di Wamena, Jayawijaya Senin (23/9/2019) yang berakhir dengan kerusuhan dan memaksa sebagian masyarakat mengungsi salah satunya disebabkan oleh hoaks yang beredar seminggu sebelumnya. Di masa pandemi Covid-19 cukup banyak peristiwa salah respon masyarakat karena informasi sesat. Ada banyak warga yang akhirnya terinveksi Covid-19 karena berita bohong yang disebar sehingga nekad tak peduli protokol kesehatan.
Masalah vaksin Covid -19 juga tak luput dari sasaran produsen berita bohong untuk menimbulkan resah masyarakat. Berbagai informasi sesat yang disebar melalui media sosial cukup mempengaruhi fikiran dan melahirkan sikap serta prilaku salah respon sebagian masyarakat.
Cukup banyak warga yang sesungguhnya kurang memahami persoalan akhirnya menghadapi tuntutan hukum karena salah dalam menggunakan media sosial. Mereka terjerat tuntutan hukum berdasarkan UU ITE, padahal masalahnya sepele, sembrono memencet tombol like and share.
Menjawab karut marut di dunia digital kita, Polri mengaktifkan virtual police sebagai pencegahan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian dengan mengedepankan keadilan restoratif.edukasi kepada masyarakat agar tidak menyebar konten yang berpotensi melanggar hukum.
Mengutip Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Raden Prabowo Argo Yuwono, polisi virtual adalah salah satu upaya Polri dalam memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak menyebar konten yang berpotensi melanggar hukum.
“Melalui virtual police, kepolisian memberikan edukasi dan pemberitahuan bahwa apa yang ditulis ada pelanggaran pidana, mohon jangan ditulis kembali dan dihapus,” katanya kepada para awak media.
Kehadiran Polisi virtual ini bagian dari tindaklanjut surat edaran Kapolri soal penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.
Masih mengutip Polri, virtual Police ini bagian dari pemeliharaan Kamtibmas khususnya di ruang digital supaya bersih, sehat, dan produktif. Selain itu juga sebagai bentuk kegiatan kepolisian, untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait opini atau konten yang dianggap berbahaya dan berpotensi melanggar hukum.
Sudah seharusnya Polri mengambil langkah cepat mencegah penyebaran berita hoaks sebagai salah satu upaya menghadirkan ruang digital yang bersih, sehat dan produktif. Aksi moderasi konten pada pengguna media sosial merupakan langkah yang baik dalam memcegah tersebarnya berita yang bisa menimbulkan acaman bagi keamanan dan ketertiban masyarakat.
Masyarakat juga perlu terus mendapatkan edukasi sehingga punya kemampuan dan lebih kritis dalam menyerap dan menyebarkan informasi. Cerdas media sosial perlu terus ditanamkan untuk menutup ruang produsen hoax memviralkan conten yang bisa memicu perpecahan masyarakat( Emmar )