Kutukan Mpu Gandring dan Siklus Kekuasaan di Indonesia
Karyudi Sutajah Putra
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merasa dikhianati oleh Moeldoko dan Marzuki Alie? Jangan heran. Begitulah galibnya siklus kekuasaan di Indonesia: sarat pengkhianatan!
Bila di Romawi kuno, kini Italia, ada kisah pengkhianatan Brutus, maka di Nusantara ada kisah pengkianatan Ken Arok.
Marcus Junius Brutus, seorang senator kepercayaan Julius Caesar, tega membunuh penguasa Romawi itu pada 15 Maret 44 SM.
Sementara Ken Arok, ketika pesanan kerisnya yang sudah lima bulan tak kunjung jadi, merebut keris yang belum sempurna itu dari tangan pembuatnya lalu menikamkannya ke Mpu Gandring. Ken Arok kemudian dikutuk Mpu Gandring bahwa keris buatannya itu akan menelan korban hingga tujuh turunan.
Ken Arok kemudian membunuh orang yang telah memberinya jabatan, Tunggul Ametung, Akuwu (Bupati) Tumapel, dan merebut istrinya, Ken Dedes.
Ken Arok lalu mendirikan Kerajaan Singasari di Jawa Timur kini dan berkuasa selama lima tahun, 1222-1227, sebelum akhirnya dibunuh Anusapati, anak Ken Dedes-Tunggul Ametung. Anusapati kemudian dibunuh Tohjaya, anak Ken Arok dari selir Ken Umang. Begitu seterusnya. Semua pembunuhan dilakukan dengan keris Mpu Gandring.
Tuah kutukan Mpu Gandring itulah kiranya yang kemudian mewarnai siklus pergantian kekuasaan di Indonesia hingga kini. Betapa tidak?
Peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru diwarnai pengkhianatan oleh Soeharto kepada Soekarno melalui Surat Perintah 11 Maret 1966.
Soeharto yang saat itu menjabat Pangkostrad adalah orang yang dipercaya Bung Karno untuk memulihkan keadaan negara pasca-G30S/PKI 1965. Ironisnya, Pak Harto kemudian menjadikan Bung Karno sebagai tahanan rumah.
Peralihan kekuasaan dari rezim Orde Baru ke era Reformasi pun diwarnai pengkhianatan oleh orang-orang kepercayaan Pak Harto seperti Harmoko, Akbar Tandjung dan Ginandjar Kartasasmita.
Pasca-Pemilu 1997, Harmoko selaku Ketua Umum Golkar dan Ketua MPR RI meminta Pak Harto untuk bersedia diangkat menjadi Presiden RI ketujuh kalinya. Namun baru sekitar setahun menjabat, Harmoko sudah meminta Pak Harto untuk mundur. Akbar Tandjung dan Ginandjar Kartasasmita pun mundur dari kabinet. Soeharto, jenderal bintang lima itu, akhirnya lengser keprabon pada 21 Mei 1998.
Pak Harto digantikan BJ Habibie yang sebelumnya wakil presiden. Pasca-tumbang, untuk beberapa lama Pak Harto tak mau ditemui Habibie, yang kemudian ditafsirkan bahwa Pak Harto kecewa terhadap Habibie yang mungkin ia anggap berkhianat.
KH Abdurrahman Wahid kemudian dipilih MPR sebagai Presiden RI pengganti Habibie. Naiknya Gus Dur ke tampuk kekuasaan pun ditafsirkan sebagai pengkianatan terhadap Megawati Soekarnoputri yang partainya, PDI Perjuangan memenangkan Pemilu 1999.
Gus Dur kemudian dilengserkan MPR untuk digantikan Megawati yang sebelumnya wapres. Naiknya Megawati ke kursi RI-1 juga ditafsirkan sebagai pengkhianatan terhadap Gus Dur, karena putri Bung Karno ini melakukan pembiaran terhadap pelengseran Gus Dur.
Megawati kemudian digantikan SBY melalui Pemilihan Presiden 2004. Namun, Megawati merasa dikhianati SBY. Pasalnya, saat para anggota kabinet ditanya Megawati apakah ada yang akan maju sebagai capres, tak seorang pun yang menjawab. Namun tiba-tiba SBY mundur dari kursi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan untuk memudian maju sebagai capres dengan menggandeng cawapres Jusuf Kalla setelah JK mundur pula dari kursi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada kabinet Gotong-royong yang dipimpin Presiden Megawati.
Tidak itu saja. SBY juga dinilai mengkianati Anas Urbaningrum ketika mengambil alih jabatan Ketua Umum Partai Demokrat tahun 2013 lalu di saat mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu terlibat kasus korupsi proyek Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olah Raga.
Kini, SBY merasa dikhianati oleh orang-orang kepercayaannya yang semasa SBY menjabat Presiden diberi kepercayaan, yakni Marzuki Alie (mantan Ketua DPR RI) dan Moeldoko (mantan Panglima TNI).
Marzuki dan Moeldoko dituduh mengkudeta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra sulung SBY, dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat. Melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar di Deliserdang, Sumatera Utara, Jumat (5/3), yang dituduh SBY dan AHY ilegal, Moeldoko dan Marzuki terpilih menjadi Ketua Umum dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Moeldoko Presiden?
Suara “Moeldoko Capres 2024” pun berkumandang di arena KLB Partai Demokrat. Akankah Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) ini benar-benar maju sebagai capres dalam Pilpres 2024 nanti dan terpilih menjadi Presiden?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, Moeldoko sudah terlanjur dicap kubu SBY sebagai pengkhianat layaknya Brutus dan Ken Arok. Bahkan SBY mengaku malu dan menyesal pernah mengangkat Moeldoko menjadi Panglima TNI semasa menjabat Presiden.
Mengingat Moeldoko menjabat Kepala KSP, sikap diam Presiden Joko Widodo terhadap sepak terjang Moeldoko justru ditafsirkan sebagai pembiaran bahkan dukungan terhadap KLB Partai Demokrat. Dengan sendirinya, tudingan berkhianat juga dialamatkan kepada Jokowi, meski tidak eksplisit. Padahal semasa SBY menjabat Presiden, Jokowi pernah menjadi “anak buah” SBY saat menjadi Gubernur DKI Jakarta 2012-2014.
Sampai kapan pengkianatan demi pengkhianatan ala kutukan Mpu Gandring mewarnai siklus pergantian kekuasaan di Indonesia?
Akankah Jokowi dikhianati orang kepercayaannya, sebagaimana SBY? Begitu pun Moeldoko? Biarlah waktu yang bicara.
Kini, Partai Demokrat terbelah menjadi dua: satu dipimpin AHY, satunya lagi dipimpin Moeldoko. Mana yang legal dan mana yang ilegal, biarlah hukum yang bicara. Mana yang eksis dan mana yang akan bernasib tragis, biarlah konstituen yang menentukan.
Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.