Nasional

Pagar Bambu di Laut: Walhi Menilai Terdapat Potensi Pelangaran Hukum

Jakarta, hariandialog.co.id.–  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) menilai terdapat potensi pelanggaran hukum terkait penerbitan
sertifikat hak atas tanah di wilayah laut. Adapun, terdapat dua
perusahaan pemilik sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diungkap
oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
(ATR/BPN) Nusron Wahid, yaitu PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti
Sentosa. Kedua perusahaan ini memiliki SHGB dengan total 254 bidang
tanah.

Walhi minta pemerintah mengevaluasi dan membatalkan pemberian hak atas
tanah pada korporasi dan perorangan di atas wilayah laut Tangerang.
“Mengusut pelanggaran hukum pada proses pemberian hak atas tanah yang
melibatkan para mafia tanah baik penerbit maupun pemegang sertifikat,”
kata Direktur Eksekutif Walhi Zenzi Suhadi dalam keterangan
tertulisnya pada Senin, 20 Januari 2025.

Selain itu, Walhi minta pemerintah untuk  menghentikan upaya reklamasi
pada wilayah pesisir dan laut Banten karena menutup akses ke sumber
penghidupan masyarakat pesisir dan merusak lingkungan di sumber
material pengurukan lahan. Organisasi lingkungan ini juga mendesak
pemerintah membatalkan Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK 2.

“Karena dijalankan dengan praktik pelanggaran hukum yang terstruktur,
sistematis dan masif,” kata Zenzi.

Dalam konferensi pers pada Senin, 20 Januari 2024, Menteri ATR/BPN
Nusron Wahid mengakui ada SHGB dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di
kawasan yang terbit di kawasan pagar laut Tangerang, Banten. Nusron
mengatakan setidaknya terdapat 263 bidang tanah dalam bentuk SHGB
dengan kepemilikan sebanyak 234 bidang tanah atas nama PT Intan Agung
Makmur dan sebanyak 20 bidang tanah atas nama PT Cahaya Inti Sentosa
serta sembilan bidang tanah atas nama perorangan. Selain itu terdapat
SHM sebanyak 17 bidang.

“Ada juga SHM, surat hak milik, atas 17 bidang,” kata Nusron.
“Lokasinya juga benar adanya sesuai aplikasi Bhumi, yaitu di Desa
Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.”

Walhi menelusuri kedua perusahaan tersebut terindikasi berafiliasi
dengan PT Agung Sedayu Group, sebuah korporasi pengembang properti
raksasa. Afiliasi Agung Sedayu Group terlihat dari kepemilikan saham
PT Agung Sedayu dan PT Pantai Indah Kapuk Dua. Selain kepemilikan
saham dari PT Agung Sedayu dan PT Pantai Indah Kapuk Dua, afiliasi
Agung Sedayu Group terlihat dari bercokolnya nama Belly Djaliel dan
Freddy Numberi yang juga Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
2004-2009 sebagai Direktur dan Komisaris pada dua perusahaan tersebut.

“Dua nama perorangan tersebut merupakan pengurus pada beberapa entitas
usaha Agung Sedayu Group,” kata Zenzi.

Berdasarkan Akta Hukum Umum (AHU) PT Intan Agung Makmur merupakan
perseroan tertutup dengan nomor SK Pengesahan
AHU-0040990.AH.01.01.Tahun 2023 pada 27 Juni 2023. Perusahaan ini
berlokasi di Jalan Inspeksi Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) Nomor 5,
Kelurahan Dadap, Kecamatan Kosambi, Tangerang, Banten. Perusahaan ini
berkegiatan usaha di bidang pembelian, penjualan, persewaan, dan
pengoperasian real estate.

Perusahaan yang berdiri dengan modal Rp 5 miliar ini dipimpin Kusuma
Anugrah Abadi dengan kepemilikan saham 2.500 lembar senilai Rp 2,5
miliar. Sementara, Inti Indah Raya memiliki saham 2.500 lembar senilai
Rp 2,5 miliar. Namun, keduanya tidak memiliki jabatan apa pun di PT
Intan Agung Makmur. Posisi Direktur justru dipegang Belly Djaliel dan
Komisaris oleh Freddy Numberi.

Kemudian, PT Cahaya Inti Sentosa merupakan perusahaan yang beroperasi
di sektor real estate. Perseroan tertutup ini berdiri pada 14 Desember
2023 dengan nomor SK Pengesahan AHU-0078522.AH.01.02.Tahun 2023.
Lokasi perusahaan ini berada di Kawasan 100 Blok C Nomor 6, Jalan
Kampung Melayu Timur, Teluknaga, Tangerang, Banten.

Perusahaan yang didirikan dengan modal Rp 89,1 miliar ini dimiliki
oleh PT Agung Sedayu, PT Tunas Mekar, dan Pantai Indah Kapuk 2, dan
beberapa orang lain. PT Agung Sedayu memiliki 300 lembar saham senilai
Rp 300 juta, PT Tunas Mekar Jaya memiliki 300 lembar saham senilai Rp
300 juta, sedangkan Pantai Indah Kapuk 2 miliki 88.500 lembar saham
senilai Rp 88,5 miliar. Adapun, susunan pimpinan PT Cahaya Inti
Sentosa ialah Nano Sampono sebagai Direktur Utama, Kho Cing Siong
sebagai Komisaris Utama, Belly Djaliel sebagai Direktur, Freddy
Numberi sebagai Komisaris, Surya Pranowo Budihadjo sebagai Direktur,
dan Yohanes Edmond Budiman juga sebagai Direktur.

Menurut Walhi, fenomena ini menguatkan dugaan banyak pihak bahwa
korporasi pengembang properti raksasa tersebut terlibat dalam kasus
pemagaran laut sepanjang 30 km. Menurut Walhi, pemagaran laut ini
merupakan bentuk dari perampasan ruang laut atau ocean grabbing.

“Sebagaimana telah diserukan oleh WALHI terhadap proyek reklamasi di
28 Provinsi termasuk proyek pertambangan pasir laut,” kata Zenzi.

Dalam keterangan tertulisnya, Walhi mengatakan Ocean grabbing mengacu
pada perampasan penggunaan, kontrol atau akses terhadap ruang laut
atau sumber daya dari pengguna sumber daya sebelumnya, pemegang hak
atau penduduk. Perampasan laut terjadi melalui proses tata kelola yang
tidak tepat dengan menggunakan tindakan yang merusak mata pencaharian
masyarakat atau menghasilkan dampak yang merusak kesejahteraan
sosial-ekologis. Selain itu, perampasan laut dapat dilakukan oleh
lembaga publik, kepentingan pribadi atau kepentingan sekelompok orang.

Tempo masih berupaya untuk meminta tanggapan dari manajemen Pantai
Indah Kapuk 2 atas temuan tersebut. Sementara,  Aguan tidak
berkomentar saat ditanya Tempo perihal kasus pagar laut yang diduga
melibatkan anak perusahaan miliknya. Ia muncul di hadapan publik saat
acara peluncuran program rumah layak huni Kementerian Perumahan dan
Kawasan Permukiman (PKP) di Kelurahan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.

Ada Dugaan Pelanggaran Hukum

Direktur Eksekutif Zenzi Suhadi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) mengatakan terdapat potensi pelanggaran hukum terkait
penerbitan sertifikat hak atas tanah di wilayah laut. Berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pemerintah dilarang
memberikan hak pengusahaan atau konsesi agraria di perairan pesisir
bagi para pengusaha.

“Larangan tersebut bertujuan untuk mencegah pengkaplingan atau
privatisasi yang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem lingkungan,
diskriminasi secara tidak langsung, menghilangkan hak tradisional yang
bersifat turun-temurun, serta mengancam penghidupan nelayan
tradisional, masyarakat adat, dan masyarakat lokal,” kata Zenzi.

Pasal 65 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 menyatakan
bahwa pemberian hak atas tanah di wilayah perairan hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh perizinan yang diterbitkan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kelautan dan perikanan.

Selain itu, Walhi juga menyinggung pernyataan Kementerian Kelautan dan
Perikanan yang menyebut bahwa keberadaan pagar di atas laut di wilayah
Tangerang tidak memiliki izin (ilegal). “Maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat potensi pelanggaran hukum dalam proses penerbitan sertifikat
hak atas tanah tersebut,” kata Zenzi.

UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 6 ayat 5 menyebut bahwa ruang laut dan
ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.
Terkait dengan tata ruang pesisir dan laut diatur dalam UU No. 27
Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 yang melahirkan turunan pengaturan
ruang laut atau RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau
Kecil) yang sekarang diintegrasikan dengan RTRW (Rencana Tata Ruang
Wilayah). Dalam Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Banten Tahun
2023-2043, disebutkan bahwa di wilayah ini diperuntukkan sebagai
kawasan perikanan budidaya.

“Dengan demikian, penerbitan SHGB merupakan pidana tata ruang yang
dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN sekaligus oleh sejumlah perusahaan
yang nama-nama telah disebutkan di atas,” kata Zenzi, tulis tempo.
(bing-01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *