Dialog

Polisi Tangkap Mahasiswi Karena Buat meme Presiden

Jakarta, hariandialog.co.id.-  — Badan Reserse Kriminal Polri
menetapkan mahasiswi berinisial SSS sebagai tersangka, diduga karena
membuat meme Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko
Widodo. Tindakan kepolisian tersebut menuai kritik karena dinilai
berlebihan.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal
(Pol) Trunoyudo Wisnu Andiko dalam keterangan pers, Jumat (9/5/2025),
membenarkan bahwa Bareskrim telah menangkap dan memproses hukum SSS.

Mahasiswi itu dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) juncto Pasal 27 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) terkait penyiaran informasi elektronik yang memiliki
muatan melanggar kesusilaan. Selain itu, Pasal 51 Ayat (1) juncto
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik terkait manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan,
dan perusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.

Ditanya tentang penetapan tersangka tersebut apakah terkait dengan
meme tentang Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko
Widodo, Trunoyudo tidak menjelaskan lebih lanjut. Menurut dia, hal itu
masih dalam proses penyidikan.

Dari informasi yang beredar, penangkapan dan penetapan tersangka SSS
terkait dengan sebuah meme yang sempat diunggah di media sosial. Meme
tersebut memuat gambar yang tidak pantas antara Presiden Prabowo
Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo.

Represi kebebasan berekspresi

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia
Usman Hamid berpandangan, penangkapan mahasiswi tersebut menunjukkan
bahwa polisi terus melakukan praktik-praktik otoriter dalam merepresi
kebebasan berekspresi di ruang digital. Dalam kasus ini, kepolisian
menggunakan argumen kesusilaan.

”Ekspresi damai seberapa pun ofensif, baik melalui seni, termasuk
satir dan meme politik, bukanlah merupakan tindak pidana. Respons
Polri ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi
di ruang digital,” tutur Usman.

Kebebasan berpendapat, menurut dia, merupakan hak yang dilindungi,
baik dalam hukum hak asasi manusia (HAM) internasional maupun
nasional, termasuk dalam konstitusi di Undang-Undang Dasar 1945.
Meskipun kebebasan ini dapat dibatasi untuk melindungi reputasi orang
lain, standar HAM internasional menganjurkan agar terhadap hal
tersebut tidak dilakukan melalui pemidanaan.

Lembaga negara, termasuk presiden, dalam pandangannya, bukanlah suatu
entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum hak asasi manusia.
Kriminalisasi di ruang ekspresi semacam ini dinilai justru akan
menciptakan ketakutan di masyarakat dan merupakan taktik yang kejam
untuk membungkam kritik di ruang publik.

Oleh karena itu, Amnesty International mendesak Polri segera
membebaskan mahasiswi tersebut karena penangkapannya bertentangan
dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK menyatakan bahwa
kerusuhan atau keributan di ruang digital atau siber tidak masuk dalam
delik pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Seperti diberitakan sebelumnya, MK memutuskan untuk melarang lembaga
pemerintah, institusi, korporasi, sekelompok orang dengan identitas
yang spesifik atau tertentu, serta profesi atau jabatan untuk
mengadukan dugaan pencemaran nama baik. Putusan perkara nomor
105/PUU-XXII/2024 tersebut dibacakan Selasa (29/4/2025).

”Untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D
Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka terhadap Pasal 27A UU No 1/2024 (UU
ITE) harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang
frasa ’orang lain’ tidak dimaknai ’kecuali lembaga pemerintah,
sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi,
korporasi, profesi, atau jabatan’,” ucap Hakim Konstitusi Arief
Hidayat yang membacakan putusan itu.

Permohonan uji materi tersebut diajukan warga Karimunjawa, Jepara,
Jawa Tengah, bernama Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Daniel dengan
kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis, mengajukan uji materi Pasal 27A
juncto Pasal 45 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kriminalisasi lewat UU ITE tidak hanya menghukum si korban, tetapi
juga menimbulkan trauma psikologis keluarga mereka. Dalam beberapa
kasus, mereka harus terpisah dari keluarga ketika proses hukum
berjalan akibat penahanan dan pemenjaraan. Ini merupakan taktik yang
represif dan tidak adil.

Kompas/Hendra A SetyawanMural tentang kebebasan berpendapat tergambar
di sebuah dinding di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten,
16 Juni 2021.

Lebih lanjut, menurut Usman, negara tidak boleh antikritik, apalagi
menggunakan hukum sebagai alat pembungkaman. Penyalahgunaan UU ITE ini
merupakan taktik yang tidak manusiawi untuk membungkam kritik.

”Kriminalisasi lewat UU ITE tidak hanya menghukum si korban, tetapi
juga menimbulkan trauma psikologis keluarga mereka. Dalam beberapa
kasus, mereka harus terpisah dari keluarga ketika proses hukum
berjalan akibat penahanan dan pemenjaraan. Ini merupakan taktik yang
represif dan tidak adil,” ujarnya.

Amnesty International Indonesia mencatat, dalam periode 2019-2024
terdapat 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi yang dijerat
dengan UU ITE dengan jumlah korban sebanyak 563 orang. Pelaku
kriminalisasi didominasi oleh patroli siber Polri sebanyak 258 kasus
dengan 271 korban dan laporan pemerintah daerah dengan 63 kasus dan 68
orang korban, tulis Kompas. (bing)

By dialog

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *