Jakarta, hariandialog.co.id.- Pakar kehutanan dari Institut
Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo mengatakan banjir umumnya
terjadi karena gangguan pada ekosistem di wilayah tersebut. Sementara
hujan hanya memicu banjir setelah ekosistem terganggu.
“Banjir itu merupakan indikasi adanya sesuatu masalah di dalam
ekosistem itu. Dalam hal ini, apakah ekosistem yang ada dalam kawasan
hutan itu sendiri, maupun terhadap penggunaan lahannya,” tuturnya
kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Kamis (21/1).
“Sehingga adanya hujan akan men-trigger ekosistem yang terganggu tadi,
sehingga timbul masalah (banjir),” tambah dia.
Ia menjelaskan deforestasi merupakan salah satu faktor yang bisa
mengganggu ekosistem kawasan hutan. Ketika kawasan hutan dilepas untuk
izin usaha, kata dia, seharusnya juga ada upaya pemulihan yang
dilakukan pada kawasan tersebut setelah aktivitas ekstraksi dilakukan.
Ini berlaku baik untuk lahan yang dibuka untuk pertambangan maupun
perkebunan. Ketika upaya restorasi tidak dilakukan, menurutnya,
ekosistem di wilayah tersebut akan terganggu.
Dalam hal ini, Bambang mengakui penyebab banjir tidak bisa dilihat
hanya dari satu sisi. Tapi ia mengatakan itu tak berarti menyusutnya
tutupan hutan tidak berperan dalam mendorong fenomena banjir, seperti
yang diklaim pemerintah terkait banjir di Kalimantan Selatan.
“Pertanyaannya, bagaimana DAS (Daerah Aliran Sungai) berfungsi baik
kalau misalnya DAS itu tidak dipulihkan sebagaimana mestinya. Nah,
jadi menurut saya kita melihatnya seharusnya terintegrasi satu sama
lain,” ujarnya.
Menurut dia pemerintah perlu mengambil langkah serius dalam menangani
situasi banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan. Salah satunya
dengan memastikan pembukaan lahan yang terjadi di sana legal dan bisa
dipertanggungjawabkan.
Ia mengatakan pemerintah juga perlu memastikan pihak yang memiliki
legalitas untuk melakukan kegiatan ekstraktif di wilayah hutan
benar-benar menjalankan upaya restorasi yang diatur dalam izin.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya
menekankan penyebab utama banjir Kalsel adalah anomali cuaca. Ia
menampik pandangan publik yang menduga penurunan luas hutan di DAS
Barito yang menyebabkan bencana itu.
“Ada simpang siur informasi, terlebih banyak data tidak valid yang
sengaja dikeluarkan beberapa pihak. KLHK selaku pemegang mandat
walidata pemantauan sumber daya hutan, menjelaskan penyebab banjir
Kalsel anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS Barito wilayah
Kalsel,” kata dia, Rabu (20/1).
Argumen serupa juga diungkapkan Presiden Joko Widodo ketika
mengunjungi Kalsel, Senin (18-01-2021). Ia mengatakan curah hujan
ketika banjir terjadi begitu tinggi. Dia tak menyinggung perkara
deforestasi dalam kunjungan itu.
Sementara KLHK dalam konferensi pers pada Selasa (19/1) mengakui ada
penurunan tutupan hutan di DAS Barito Kalimantan Selatan hingga 62,8
persen selama 1990-2019. Dari luas wilayah DAS Barito yang mencapai
1,8 juta hektare, area hutan alam hanya meliputi 15 persen dari
wilayah itu dan 3,2 persen merupakan hutan tanaman.
Hutan alam di DAS Barito Kalsel pada 2019 hanya mencapai 274.277
hektare. Padahal pada 1990 luasnya tercatat hingga 737.758 hektare.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Siti Nurbaya Bakar menyatakan penyebab utama bencana banjir di
Kalimatan Selatan adalah faktor anomali cuaca. Ia mengklarifikasi soal
info banjir Kalsel yang menurutnya simpang siur.
Siti membantah banjir disebabkan oleh faktor penurunan luas
hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito. “Ada simpang siur
informasi, terlebih banyak data tidak valid yang sengaja dikeluarkan
beberapa pihak. KLHK selaku pemegang mandat walidata pemantauan sumber
daya hutan, menjelaskan, penyebab banjir Kalsel anomali cuaca dan
bukan soal luas hutan di DAS Barito wilayah Kalsel,” kata Siti dalam
akun Twitter resminya @SitiNurbayaLHK, Rabu (20-01-2021). (cnni/bing).