Jakarta, hariandialog.co.id.- Serikat Tahanan Politik Indonesia
hadir dan pertama ada di rumah tahanan (rutan) Polda Metro Jaya.
Anggotanya 27 orang seperti terliha di tandatangan. Mereka membentuk
serikat tersebut setelah salah satu tahanan mengalami penyiksaan di
dalam rutan.
Serikat tersebut diketuai oleh aktivis Gejayan Memanggil
Syahdan Husein. Ia ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan
penghasutan terkait dengan demonstrasi Agustus 2025 dan telah ditahan
sejak awal September.
Para tahanan menulis surat tentang pembentukan Serikat Tahanan Politik
Indonesia pada 4 Oktober 2025. Di dalam surat itu, terlihat ada 27
tanda tangan termasuk milik Syahdan sebagai ketuanya. “Telah resmi
terbentuk sebuah wadah perjuangan, wadah untuk mengikat tali
persaudaraan antara satu sama lain di bawah naungan Serikat Tahanan
Politik Indonesia,” demikian bunyi surat yang dilihat Tempo pada
Selasa, 7 Oktober 2025.
Surat itu juga menyebut bahwa Serikat Tahanan Politik Indonesia
bertujuan “menyerap aspirasi anggota serikat tahanan politik selama
proses hukum berlangsung”, juga sebagai “sumber otentik perihal
informasi mengenai kondisi para anggota selama proses penahanan”.
Para anggota juga mengajak tahanan politik di seluruh Indonesia untuk
bergabung dalam serikat tersebut. “Kami mengajak seluruh tahanan
politik yang ditangkap dan belum dibebaskan di seluruh Indonesia untuk
bergabung ke Serikat Tahanan Politik Indonesia,” kata para tahanan.
Latar belakang pembentukan serikat ini adalah penyiksaan yang dialami
tahanan. Salah satu tahanan bercerita kepada Tim Advokasi untuk
Demokrasi (TAUD) – kelompok pengacara yang mendampingi sejumlah
tahanan – bahwa ada seorang tahanan lainnya yang disiksa di dalam
rutan.
“Salah satu klien kami mengaku telah mendapat kabar dari tahanan lain
bahwa telah terjadi kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang
diduga kuat adalah polisi,” kata pengacara publik Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Jakarta sekaligus perwakilan TAUD Daniel Winarta saat
dihubungi, Selasa.
Menurut pengakuan dari korban, penyiksaan dilakukan ketika ia dibon
(atau dikeluarkan sementara dari tahanan) untuk dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan dilakukan tanpa didampingi pendamping hukum.
Terdapat sekitar tujuh orang polisi yang mengintimidasi korban saat
pemeriksaan, menurut cerita tahanan tersebut. Penyiksaan yang dialami
berupa penendangan di bagian kaki, pemukulan di dada, ditutup matanya,
juga penyetruman di bagian kaki dan lengan.
Korban dikabarkan mengalami sesak napas dan kondisi bibir pecah akibat
dipukul. Atas permintaan korban dan rekan sesama tahanan, korban
sempat dibawa ke Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda
Metro Jaya.
“Mereka melihat bahwa untuk memperjuangkan haknya di dalam, mereka
tidak bisa sendiri-sendiri. Salah satunya, kalau ada yang mendapat
kekerasan, mereka bareng-bareng memperjuangkan temannya agar dibawa ke
Dokkes. Dari situ kesadaran berserikat jadi muncul,” kata Daniel.
Tempo telah meminta konfirmasi kepada Kepala Bidang Hubungan
Masyarakat Polda Metro Jaya Brigadir Jenderal Ade Ary Syam Indradi dan
Kepala Biro Penerangan Masyarakat AKBP Reonald Simanjuntak tentang
kebenaran kabar tersebut.
Polda Metro Jaya menetapkan enam orang tersangka, termasuk
Syahdan, pada awal September 2025 atas tuduhan provokasi dalam
demonstrasi pada 25 dan 28 Agustus 2025. Mereka dituduh telah
menghasut massa untuk bertindak rusuh saat unjuk rasa.
Keenam tersangka dikenakan Pasal 160 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 45A ayat 3 juncto Pasal 28 ayat 3
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Sejak itu, Polda Metro Jaya telah menangkap ratusan
tersangka terkait dengan kerusuhan Agustus. Terdapat setidaknya 232
tersangka di Polda Metro Jaya saat ini, menurut penghitungan terakhir
dari Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal
Syahardiantono yang dipaparkan pada Rabu, 24 September 2025, tulis
tempo. (tur-01)