
Oleh: Dr.(c) Padot A. Naibaho S.H.,M.H.
Pertama-tama kita mengucapkan selamat Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada setiap 2 Mei. Pada saat era Menteri Pendidikan Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi dijabat Nadiem Makarim pada Kepemimpinan Presiden Joko Widodo sebagai Presiden Rebublik Indonesia, memilih tujuh program prioritas pendidikan yang akan diberlakukan di seluruh Indonesia, salah satunya digitalisasi pendidikan.
Namun dalam tujuh program tersebut, tidak menjadikan pemerataan pendidikan sebagai program prioritas sehingga terjadinya ketimpangan yang menyolok antara anak didik di kota-kota besar dan di pelosok daerah. Ketimpangan tersebut sangatlah membuat anak didik di daerah tidak mendapat kemajuan teknologi dan mutu pendidikan. Hal tersebut tidak terlepas dari kebijakan negara dalam hal ini Menteri Pendidikan, serta minimnya sarana dan prasarana (hal ini menjadi ketimpangan yang menyolok).
Selain itu,penerimaan guru, jika sudah ditempatkan di kota besar, maka tidak akan mutasi maupun rotasi ke daerah. Itu pertanda seakan-akan guru yang penempatan awal di kota besar, maka hingga pensiun tetap mengajar di kota besar. Hal ini tidak adanya transfer pengetahuan dan pengalaman serta permasalahan yang begitu komplek di kota-kota ketimbang di daerah terpencil. Artinya jika mutu pendidikan di daerah menghadapi tantangan internal maupun eksternal,guru-guru di dearah yang boleh dikatakan pengalaman minim, maka akan sulit mencari solusi maupun mengatasinya mengingat belum tercapainya keseimbangan pengetahuan dan pengalaman disebabkan mutu pendidikan antara di kota dan di daerah terpencil tidak seimbang.
Sehingga hingga saat ini pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dan tertuntaskan di Indonesia adalah soal Pemerataan Pendidikan. Padahal Pemerataan Pendidikan merupakan salah satu bentuk dari tujuan nasional yang dituangkan dalam alinea keempat, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan bersaing.
Karena tujuan itu berlaku untuk nasional, seharusnya dari pelayanan, penyaluran tenaga hingga pengadaan fasilitas guna mencerdaskan kehidupan bangsa berlaku secara merata, menyeluruh, dari ujung Aceh sampai dengan ujung Merauke. Namun fakta yang tersebut hingga saat ini tidak demikian. Semua terkesan tersentralisasi di pusat-pusat kota besar di Indonesia.
Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari gugusan pulau membuat daerah pelosok sulit dicapai sehingga pemerintah cenderung memprioritaskan kota-kota besar saja. Akibatnya, perbaikan sarana prasana dan pengadaan fasilitas pendidikan masih belum maksmimal. Dari 170 ribu sekolah dasar yang ada di Indonesia, hanya 46% di antaranya yang memiliki perpustakaan dan paling banyak berlokasi di Indonesia Barat. Namun jikalau akses menjadi kendala terbesar dalam menyalurkan fasilitas penunjang pendidikan secara merata, seharusnya Pemerintah bisa saja lebih dulu menyalurkan pendidik atau guru atau dosen secara merata.
Jika menilik militansi di dalam tubuh militer, baik itu TNI atau Polri, bukanlah hal yang tidak mungkin Negara menciptakan tenaga pendidik yang militan mengabdi kepada Negara, berperang melawan kebodohan agar Negara tidak tergerus zaman.
Ketidakmerataan pendidikan di Indonesia memang bukan merupakan hal yang harus kita tutupi lagi. Sebagai gambaran besar, Angka Partisipasi Kasar (APK) terhadap pendidikan sekolah dasar di Papua adalah 89 padahal di tingkat nasional APK adalah 106. Yang lebih menyedihkan lagi, Papua adalah provinsi kedua dengan angka putus sekolah tertinggi. Dalam kata lain, mereka yang bisa merasakan pendidikan di Papua bahkan cenderung terlempar dari bangku sekolah.
Mari kita coba melihat ke belakang, seperti tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara, pada zaman pemerintahan Hindia Belanda kala itu, beliau rela diasingkan karena kerap memberikan kritik kepada pemerintahan, keras dalam memperjuangkan kemajuan pendidikan Indonesia sampai rela menanggalkan gelar kebangsawasanannya semata-mata agar lebih dekat dengan rakyat, dan selanjutnya beliau berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.
Sosok yang sangat inspiratif ini seharusnya dapat menjadi teladan kepada semua Pendidik Indonesia agar mengabdi secara militan kepada bangsa dan negara.
“Engkau sebagai Pelita dalam kegelapan, engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, Engkau Patriot pahlawan Bangsa, tanpa tanda jasa”. Itu sedikit kutipan dari lirik Hymne Guru, Ciptaan Sartono, salah seorang guru yayasan swasta yang berasal dari Madiun. Lagu tersebut menggambarkan betapa besar tanggungjawab seorang guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Tak ayal di balik tanggungjawab yang begitu besar, guru juga dituntut untuk menjalankan tugas mulia sebagai pendidik tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Mengapa perlu revitalisasi militansi pendidik di Indonesia? Mari kita tengok sumpah guru sebagai berikut: “membaktikan diri saya untuk tugas mendidik, mengajar, membimbing, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran peserta didik guna kepentingan kemanusiaan dan masa depannya,”. Secara sederhana dapat diartikan sejatinya seorang guru berbakti dalam mendidik peserta didik atas kepentingan kemanusiaan dan masa depan peserta didiknya. Guru harus mengesampingkan kepentingan pribadinya semata-mata demi keberhasilan peserta didiknya. Naluri pebakti dan pengabdi harus ditanamkan kepada setiap pendidik di Indonesia, bukan naluri pekerja yang berorientasi kepada pendapatan semata.***