Nasional

Peretasan Akun WNA Yang Mengkritik Indonesia: Polri Alat Pembungkam Terlalu Berlebihan

Jakarta, hariandialog.co.id.-Anggota Komisi III DPR RI, Hasbiallah
Ilyas, menanggapi dugaan peretasan akun seorang warga negara Denmark
oleh kepolisian, setelah warga negara asing (WNA) itu mengkritik
pemerintahan Indonesia. Hasbiallah menyatakan tidak ada bukti polisi
digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik terhadap pemerintah
adalah sesuatu yang berlebihan.”Kekhawatiran Polri menjadi alat
pembungkaman terlalu berlebihan,” kata dia kepada Tempo lewat aplikasi
perpesanan pada Minggu malam, 6 April 2025.

              Hingga saat ini, kata anggota DPR itu, belum ada bukti
yang menunjukkan tim Cyber Polri secara institusional melakukan doxing
sebagai upaya meredam kebebasan berpendapat. Hasbi justru mengklaim
bahwa keberadaan polisi siber berperan penting dalam mencegah
penyebaran ujaran kebencian. “Memang ada dugaan oknum tertentu yg
menyimpang, tapi itu masih wajar, tidak ada yang sempurna seratus
persen,” ujar dia.

          Hasbi mengatakan polisi akan berjalan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya yang tertera di Undang-Undang Polri. Menurut dia,
anak buah Listyo Sigit Prabowo itu tidak akan ada yang berkerja
melenceng dari semangat reformasi.  “Dalam berbagai peristiwa politik
dan suksesi pemerintahan selama era reformasi ini, saya berpendapat
Polri telah teruji sebagai institusi negara yang hanya loyal kepada
negara dan konstitusi, tidak berpihak dan menjadi alat kekuasaan,”
tuturnya.

            Sebelumnya dugaan peretasan oleh aparat ini menimpa Sverre
Dahl Nielsen, seorang eks WNI yang kini berkewarganegaraan Denmark.
Dalam pernyataan tertulis yang diunggah di media sosial, ia mengaku
menjadi korban doxing setelah menyuarakan isu korupsi di Indonesia.

           Sverre menyebut bahwa upaya peretasan dan doxing yang
dialaminya dilakukan oleh kepolisian Indonesia. Atas insiden tersebut,
ia melaporkannya ke kepolisian Denmark. Tak lama setelah itu, Sverre
memutuskan untuk menarik diri dari aktivitas di media sosial demi
alasan keamanan.

            Menurut Sverre, pihak kepolisian Indonesia telah
menyampaikan permintaan maaf secara resmi, bahkan seorang perwakilan
datang langsung ke rumahnya untuk menyampaikan permintaan maaf
tersebut. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, Sverre akhirnya
memutuskan untuk memaafkan tindakan tersebut.

            Sverre menjelaskan bahwa alasannya memaafkan adalah karena
kasus ini berpotensi melibatkan Interpol, yang bisa berdampak pada
hubungan diplomatik antara Indonesia dan Denmark. Ia juga khawatir,
masyarakat Indonesia yang tinggal di Denmark bisa ikut terdampak
akibat persoalan ini.

            Keputusan itu diambil Sverre atas saran dari orang tuanya.
Selain itu, pihak kepolisian Indonesia disebut telah memberhentikan
oknum yang terlibat dalam peretasan tersebut. Tindakan itu pun diklaim
sebagai inisiatif pribadi oknum, bukan bagian dari kebijakan
institusi.

            Tempo sudah menghubungi Kepala Biro Penerangan Polri
Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko untuk mengonfirmasi apakah
benar Polisi yang melakukan hal tersebut. Namun, hingga berita ini
ditulis, Trunoyudo belum memberikan tanggapan, tulis tempo. (dika-01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *