Dialog

PN Jakarta Pusat Bebaskan Mantan Dirut Bank Swadesi

Jakarta, hariandialog.co.id.-  Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat membebaskan mantan Direktur Bank Swadesi Ningsih Suciati dari
segala dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dalam perkara
dugaan tindak pidana perbankan dalam pemberian fasilitas kredit
sebagaimana dilaporkan Direktur PT Ratu Kharisma, Rita Kishore.

         “Tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana sebagaimana didakwakan kepadanya. Membebaskan terdakwa dari
segala dakwaan,” kata Ketua Majelis Hakim M Sainal, dan dua hakim
anggota, Ignatius Eko dan Kadarisman, Senin (06-12-2020) .

Mengutip kesaksian Pakar Hukum Perbankan Yunus Husen yang dihadirkan
sebagai saksi ahli dalam perkara tersebut, majelis hakim dalam
pertimbangannya sependapat dengan saksi ahli bahwa pelanggaran standar
operasional prosedur (SOP) dalam pemberian fasilitas kredit yang
dilakukan terdakwa, sebagaimana didakwakan JPU, bukanlah ranah pidana.

Untuk dapat dikategorikan sebagai suatu peraturan perundang-undangan,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menentukan bahwa terdapat empat
unsur yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan untuk dapat
dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.

Unsur-unsur tersebut adalah peraturan tersebut haruslah tertulis dan
memuat norma hukum yang mengikat secara umum, dibuat oleh Lembaga
Negara atau Pejabat yang berwenang, dibentuk melalui prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dan harus diundangkan
dengan menempatkannya pada salah satu tempat pengumuman seperti Lembar
Negara, Tambahan Lembar Negara dan lain sebagainya.

Dengan demikian kata hakim jelas bahwa SOP tidaklah memenuhi kriteria
suatu perundang-undangan.

Hakim memandang bahwa untuk lebih memahami praktik penerapan Pasal 49
ayat (2) huruf b, dapat diperhatikan beberapa putusan yang menerapkan
ketentuan tersebut dengan benar seperti dalam Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Barat No. 001/PID/B/1998/PN.JKT.BAR, 13 April 1998
dengan terpidana Ahmad Febby Fadhillah, Komisaris Bank Citra dan
Chandra W Direktur Bank Citra yang dijatuhi pidana tiga bulan dan
denda empat puluh juta rupiah karena tidak melakukan langkah-langkah
yang diminta secara tertulis oleh Bank Indonesia sebagai pengawas dan
pembina bank melalui empat surat pada tahun 1997 untuk memperbaiki
pelanggaran yang terjadi seperti membeli obligasi atas nama bank,
tetapi tidak tercatat pada pembukuan bank.

Begitu pula putusan nomor 22/Pid.Sus/2018/PN WNO dan dikuatkan oleh
putusan nomor 51/Pid.Sus/2018/PT YYK. Dalam perkara ini majelis hakim
menjelaskan bahwa pelanggaran SOP saja tidak cukup untuk memenuhi
ketentuan pidana dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b. Majelis hakim
menekankan bahwa yang dimaksud dengan tidak melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan dalam undang-undang ini artinya bank tidak
melaksanakan hal-hal yang telah diperintahkan oleh Bank Indonesia
(saat ini OJK) kepada bank tersebut. Dalam perkara ini, PT Bank
Perkreditan Rakyat Agra Arthaka Mulya telah dinilai oleh OJK berada
dalam kondisi membahayakan kelangsungan usahanya, telah ditetapkan
dalam status pengawasan khusus, dan telah diberikan waktu yang cukup
kepada pemegang saham dan pengurus bank untuk melakukan upaya guna
penyehatan banknya namun tidak berhasil.

Atas putusan tersebut, Fransisca Romana, Penasihat Hukum Ningsih
Suciati menyatakan menghormati putusan Majelis Hakim yang telah
memutus sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan menunggu sikap Jaksa
Penuntut Umum atas putusan tersebut.

Sebelumnya, pakar hukum perbankan Yunus Husein dalam kesaksiannya
sebagai ahli di persidangan perkara twrsebut menyatakan pelanggaran
SOP bank tak masuk ranah pidana. Pernyataan itu ia sampaikan saat
menjadi saksi ahli dalam sidang kasus dugaan tindak pidana perbankan
dengan terdakwa mantan direksi Bank Swadesi, Ningsih Suciati.

Menurutnya, penerapan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang No 10
Tahun 1998 tentang Perbankan untuk menjerat Ningsih, bersifat
prematur. Sehingga, kata dia, pasal itu tidak tepat untuk diterapkan.

Apalagi belum ada temuan dari pengawas dan regulator bank bahwa Bank
Swadesi melanggar UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Ini dibuktikan dengan tidak adanya surat pembinaan
(supervisory action) atau sanksi administratif yang dikenakan pengawas
kepada bank,” kata mantan kepala Pusat Pelaporan Analisis dan
Transaksi Keuangan (PPATK) itu.

Yunus menuturkan Pasal 49 ayat (2) huruf b bersifat “administrative
penal law”. Artinya, harus ada dulu pelanggaran yang bersifat
administratif dan ditegakkan dengan hukum administratif. Apabila
penegakan hukum administratif tidak berjalan, barulah diselesaikan
secara pidana.

“Hanya apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum
mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka
baru diadakan sanksi pidana sebagai pamungkas atau ultimum remedium,”
tutur Yunus.

Dalam kasus Bank Swadesi, menurut Yunus, tidak ditemukan bukti adanya
laporan pelanggaran atau penyimpangan yang diketahui oleh pengawas
bank (Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan). Hal ini berdasarkan
pemeriksaan atau laporan yang disampaikan bank. Kalaupun ada laporan
dari luar bank tentang penyimpangan yang dilakukan, lanjut dia,
pengawas bank akan melakukan pemeriksaan untuk memverifikasi atau
memvalidasi kebenaran laporan tersebut.

“Bentuk perintah pengawas bank kepada bank itu bisa berupa surat
pembinaan (supervisory action), action plan, atau yang populer dikenal
dengan cease and desist Order. Kalau Langkah-langkah yang
diperintahkan oleh pengawas bank tidak ada, maka berarti tidak ada
pelanggaran yang dilakukan bank,” imbuhnya.

Adapun JPU belum memberi keputusan terhadap upaya atau langkah yang
akan dilakukan terkait putusan bebas murni majelis hakim tersebut.

Kasus dugaan ini sendiri bermula pada tahun 2008 dimana kala itu Rita
Kishore Kumar Pridani dan Kishore Kumar Tahilram Pridani selaku
direksi PT Ratu Kharisma mendapatkan fasilitas kredit dari Bank
Swadesi Rp10,5 miliar dengan agunan berupa tanah seluas 1.520 meter
persegi di daerah Seminyak, Bali.

Baru membayar angsuran dan bunga sekitar Rp300 juta, keduanya
dilaporkan lalai atas kewajibannya dan tidak lagi membayar bunga dan
angsuran sejak Juni 2009. Pemberitahuan, peringatan, dan pemutusan
kredit sudah dilakukan, tapi mereka tetap tidak melaksanakan
kewajibannya.

Merujuk Pasal 6 UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan,
Peraturan Menteri Keuangan No 40 Tahun 2006, dan Peraturan Menteri
Keuangan No 93 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Lelang dan pencatatan
objek agunan melibatkan Kantor Pertanahan (BPN), pihak bank lantas
mengajukan lelang umum di KPKNL Denpasar.

Hasilnya, aset tersebut laku senilai Rp6,38 miliar setelah melalui
lima kali proses lelang. Namun, PT Ratu Kharisma tidak puas dengan
hasil lelang tersebut karena nilai lelang jauh di bawah nilai pasar.

Saat lelang keempat, debitur bahkan meminta kreditur menghapus utang
Rp5 miliar. Jumlah ini merujuk pada putusan hakim dalam gugatan
wanprestasi. Selisih dari nominal utang dipotong nilai aset yang
dilelang. Namun, permintaan itu ditolak pihak bank.

Setelah melalui proses panjang, akhirnya keduanya melaporkan
komisaris, direksi, dan karyawan Bank Swadesi ke Polda Bali atas
dugaan melakukan tindak pindana perbankan. (sindo/yay)

By dialog

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *