Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Nama keduanya hampir sama. Serupa tapi tak sama. Diawali huruf F, diakhiri huruf N, pada nama depan ada perbedaan penempatan huruf i dan l: Fadil Imran & Fadli Zon.
Tapi sikap keduanya sungguh jauh berbeda. Bahkan dalam satu titik ini terjadi benturan: tertembaknya 6 pengawal Muhammad Rizieq Syihab!
Kapolda Metro Jaya harus dicopot, kata Fadli Zon, terkait insiden penembakan yang terjadi Senin (7/12) dini hari itu, agar Inspektur Jenderal Fadil Imran dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda Metro Jaya.
Tak ada gigi mundur, kata Fadil Imran, seolah membalas pernyataan anggota Komisi I DPR dari Partai Gerindra itu.
Fadli memang dikenal dekat dengan MRS dan Front Pembela Islam (FPI). Dalam acara milad organisasi kemasyarakatan itu beberapa waktu lalu, misalnya, mantan Wakil Ketua DPR ini hadir.
Begitu pun saat MRS baru pulang dari Arab Saudi, Selasa (10/11), Fadli menyempatkan diri “sowan” MRS di kediamannya di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Mungkin itu semua terjadi karena keduanya memiliki keserupaan yang sama: dekat Cendana!
Atau mungkin saja ada faktor lain, karena selama ini Fadli memang kritis terhadap pemerintah. Bahkan ada kecenderungan “WTS” (waton sulaya) alias asal berbeda. Apa faktor lain itu? Hanya Fadli Zon yang tahu.
Sebaliknya, Fadil mengaku gerah dengan sepak terjang ormas yang sejak 1998 hingga kini terus meresahkan masyarakat, sehingga ia harus memberantasnya.
Fadil bahkan mengidentifikasikan dirinya sebagai Gadjah Mada, Panglima Perang dan Perdana Menteri Kerajaan Majapahit saat dipimpin Raja Hayam Wuruk.
Fadli sebelumnya memamg menyindir Fadil gagah luar biasa. Fadil yang memang gagah seperti Gadjah Mada itu pun berjanji tak akan berhenti memberantas ormas yang sejak berdiri selalu melakukan ujaran kebencian, penghasutan, hingga menebarkan berita bohong, namun didiamkan.
Fadil memang tak menyebut nama ormas dimaksud. Tapi publik mafhum yang ia maksud hampir 100 persen adalah FPI.
Bagaimana bisa Fadil dicopot? Justru dia ditarik dari Polda Jawa Timur ke Polda Metro Jaya untuk menggantikan Nana Sudjana yang dinilai lembek terhadap ormas tertentu. Terutama dalam menegakkan protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19 ini.
Jangankan mencopot Fadil, Mabes Polri bahkan menarik kasus insiden bentrok polisi dan laskar FPI itu dari Polda Metro Jaya ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri karena “locus delicti” atau tempat kejadian perkaranya ada di Kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek yang masuk wilayah Karawang, Jawa Barat, sehingga lintas wilayah.
Tapi, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri telah membentuk tim investigasi untuk menyelidiki bentrok polisi dengan laskar FPI itu.
Di pihak lain, Komnas HAM, yang lebih sering diam ketika ada peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembantaian 1 keluarga oleh teroris di Sigi, Sulawesi Tengah, juga telah membentuk tim investigasi.
Begitu pun Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang akan mengawal penyelidikan kasus tersebut. Maka kita tunggu saja hasilnya.
Blessing in Disguise
Tapi Fadil tak bergeming. Ia bahkan mengultimatum MRS untuk ditangkap yang kemudian direspons MRS dengan menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya, Sabtu (12/12) pagi. MRS pun ditangkap, diperiksa, kemudian ditahan.
Fadli pun terus berkoar. Ia memuji MRS pemberani karena hadir di Polda Metro Jaya.
Berani memang satu hal. Tapi ketaatan pada hukum adalah hal lain. Aziz Yanuar, pengacara MRS, menyatakan, kedatangan MRS ke Polda Metro Jaya bukan karena kliennya itu takut ditangkap, melainkan karena kepatuhannya pada hukum. MRS, kata Aziz, adalah seorang pejuang sejati yang tak pernah mengenal rasa takut.
Aziz benar. Negara hukum seperti Indonesia ini menganut prinsip “equality before the law” (kesamaan di muka hukum). Maka siapa pun dia, apakah ulama atau bukan, kedudukannya sama di muka hukum. Ia harus taat pada hukum. Kalau salah dihukum, kalau tidak salah tidak dihukum.
Fadil bahkan seakan beroleh berkah di balik malapetaka atau “blessing in disguise” dari adanya pandemi Covid-19 ini. Massa HRS yang biasanya ikut mengawal pemimpinnya itu diperiksa polisi, kali ini absen. Sebab memang ada larangan berkerumun di masa pandemi ini sebagaimana diamanatkan Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dari dugaan pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan dan PSBB inilah kasus MRS ini berawal.
Kini, Fadli Zon boleh terus berkoar. Tapi akan didengarkan atau tidak, itu terserah Fadil Imran. Sebagai Kapolda Metro Jaya, Fadil hanya tunduk pada perintah Kepala Kepolisian RI. Kapolri hanya tunduk pada perintah Presiden RI. Presiden hanya tunduk pada konstitusi.
Karyudi Sutajah Putra, wartawan, penulis, konsultan.