Dialog

PBNU Apresiasi Pecabutan Empat IUP di Raja Ampat

Jakarta, hariandialog.co.id.-  Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
atau PBNU Ulil Abshar Abdalla mengapresiasi upaya pemerintah mencabut
IUP empat pengelola tambang nikel di Raja Ampat. “Saya mengapresiasi
pemerintahan Prabowo yang dengan cepat melakukan tindakan tegas
mencabut IUP empat perusahaan dan memberikan pengawasan yang lebih
ketat lagi terhadap PT Gag Nikel yang masih beroperasi di sana,” kata
dia di Jakarta, Rabu, 11 Juni 2025, seperti dilansir dari Antara.

Gus Ulil, demikian dia akrab disapa, mengatakan upaya itu adalah
perkembangan positif karena pemerintah segera merespons aduan
masyarakat. Soal polemik PT Gag Nikel yang masih beroperasi, dia
menyerahkannya kepada pemerintah.

“Bagi PBNU, prinsip yang kita pegang adalah pengelolaan sumber daya
alam, terutama pertambangan, itu harus pertama dilakukan dengan
prosedur yang sesuai dengan aturan dan diselenggarakan untuk mencapai
kemaslahatan publik,” ujar dia.

Dia menuturkan PBNU tidak ingin eksplorasi sumber daya alam hanya
menguntungkan segelintir kalangan, segelintir kelompok, tidak
dinikmati oleh rakyat. “Dan tentu saja aspek lingkungan itu penting
sekali. Kita kepingin tambang kita dikelola dengan benar,
memperhatikan aspek lingkungan didasarkan pada prinsip keadilan dan
kemaslahatan,” tuturnya.

PP Muhammadiyah Desak Pemerintah Cabut Seluruh IUP di Pulau Kecil

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah mendesak
pemerintah mengevaluasi dan mencabut seluruh izin pertambangan di
pulau kecil di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Bidang Kajian
Politik Sumber Daya Alam (SDA) LHKP PP Muhammadiyah menanggapi
pencabutan empat IUP nikel di Raja Ampat.

Anggota Kajian Politik SDA LHKP PP Muhammadiyah, Parid Ridwanuddin,
menegaskan pertambangan di pulau kecil tidak punya tempat di
Indonesia, mengingat peraturan perundang-undangan melarang hal
tersebut. Dia menuturkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
juncto UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil secara tegas menyebutkan larangan itu.

“Artinya, jika pemerintah ingin melakukan penegakan hukum berdasarkan
UU tersebut, seluruh izin pertambangan di pulau kecil seharusnya
dievaluasi dan dicabut dalam tempo yang sesingkat-singkatnya,” kata
Parid melalui pesan tertulis pada Rabu, 11 Juni 2025.

Adapun Ketua Bidang Kajian Politik SDA LHKP PP Muhammadiyah, Wahyu
Perdana, menambahkan pemerintah jangan menggunakan pencabutan empat
IUP itu untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan tambang nikel
tersebut memenuhi persyaratan administratif pertambangan, lalu setelah
itu dibuka kembali izin baru.

Wahyu mengatakan, jika pertambangan di pulau-pulau kecil tidak
dihentikan, akan menjadi bom waktu ekologis dan juga sosial ekonomi
yang akan meledak kapan saja. “Pulau-pulau kecil kita di Indonesia
memiliki kerentanan yang sangat tinggi. Pertambangan apa pun tidak
boleh ada,” ujarnya.

Menurut Parid, desakan LHKP PP Muhammadiyah sangat relevan untuk
memastikan tidak ada tebang pilih pencabutan izin pertambangan di satu
tempat, dan pada saat yang sama terjadi pembiaran di tempat lain. “PP
Muhammadiyah menggarisbawahi bahwa keadilan ekologis merupakan satu
keniscayaan yang harus dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa
terkecuali. Bahkan itu di pulau-pulau kecil,” kata dia.

Dia menuturkan seruan LHKP PP Muhammadiyah juga relevan mengingat
terdapat IUP di banyak pulau kecil. Berdasarkan catatan Yayasan Auriga
Nusantara (2025), terdapat izin usaha pertambangan di 214 pulau kecil
dengan luas total 390 ribu hektare. Izin tersebut diberikan kepada 303
perusahaan tambang.

Wahyu menambahkan, jika pemerintah hanya berhenti pada pencabutan
empat IUP di Raja Ampat tetapi membiarkan IUP di pulau kecil lain,
maka ini melanggar peraturan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 27
Tahun 2007 juncto UU Nomor 1 Tahun 2014.

Lebih lanjut, Wahyu menyebutkan pertambangan di pulau-pulau kecil akan
menyebabkan bencana ekologis yang sangat serius, dan memaksa
masyarakat yang tinggal di pulau tersebut menjadi pengungsi. Perempuan
adat dan pesisir, anak-anak, dipastikan akan kehilangan ruang hidup,
ruang sosial, dan peran ekologisnya.

Secara khusus, kata dia, ini bertentangan dengan semangat dan prinsip
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW) tentang keadilan ekologis bagi perempuan adat, perempuan
pesisir, serta hak hidup yang layak dan sehat dalam lingkungan yang
tidak rusak. “Jika ini terjadi, ini merupakan kejahatan serius,” kata
Wahyu, tulis tempo. (dika-01)

By dialog

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *