Jakarta, hariandialog.co.id.- KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengusulkan agar asas dominus litis dapat diterapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru. Usul itu disampaikan oleh Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dalam rapat dengar pendapat di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, pekan lalu.
Asas dominus litis memberikan kewenangan kepada jaksa penuntut umum sebagai pengendali atau pemilik perkara. Dengan penerapan dominus litis, jaksa sebagai penuntut umum akan terlibat sejak tahap penyidikan.
Anis berpendapat, penerapan prinsip ini dalam revisi KUHAP penting untuk mempercepat proses hukum. Masyarakat dapat terhindar dari bolak-balik berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum yang kerap menghambat proses peradilan. Selain itu, penerapan konsep ini diharapkan dapat memperkuat koordinasi dan pengawasan terhadap upaya paksa di tahap penyidikan agar tak melanggar HAM. “Jadi jaksa tidak diberi kewenangan baru, tapi dilibatkan saat polisi sebagai penyidik merasa perlu untuk melibatkan penuntut umum,” katanya di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 22 September 2025.
Penerapan asas dominus litis ini sebelumnya juga sempat disuarakan oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.
Menurut dia, masalah penanganan perkara pidana kerap disebabkan oleh tumpang-tindihnya kewenangan di antara penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Ia mengusulkan agar revisi KUHAP yang tengah bergulir di parlemen ikut merumuskan pembahasan pasal itu.
Asas dominus litis sebenarnya bukan barang baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP berlaku, penanganan perkara pidana di Tanah Air masih menggunakan hukum acara peninggalan Belanda, yakni Herziene Inlandsche Reglement. Aturan itu menganut prinsip dominus litis atau jaksa sebagai penguasa perkara.
Peneliti Indonesia Judicial Research Society, Matheus Nathanael Siagian, menuturkan, pada masa itu, jaksa memiliki kewenangan yang sangat besar dalam mengendalikan perkara pidana. Kewenangan yang besar itu membuat kejaksaan menjadi institusi yang superpower dan memonopoli perkara. Matheus mengatakan diskresi yang tidak terkontrol dan monopoli itu membuat kejaksaan menjadi institusi yang korup dalam proses peradilan, tulis tempo. (tob)

 
                         
        